Berpikir maka aku ada (cogito ergosum) sebuah ungkapan dari filsuf besar Prancis abad pertengahan, Rene Descartes. Ungkapan ini yang kemudian dianggap membawa kebangkitan bagi ilmu pengetahuan Eropa setelah sekian lama dikungkung oleh dogma gereja.
Berpikir menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya. Manusia adalah makhluk yang berpikir. Konsekuensinya, selama ia melakukan aktifitas berpikir, maka selama itu pula ia menjadikan dirinya sebagai manusia.
Dengan kata lain, berpikir membuat seseorang meng-ada-kan kemanusiaannya. Lantas, apa yang disebut berpikir itu? Untuk menjawab pertanyaan akan dibahas pada kesempatan yang lain.
Namun, yang akan penulis tekankan adalah seperti apa batas-batas seseorang di dalam aktifitasnya mengatakan bahwa itu adalah 'karena Aku berpikir'.
Ke-Aku-an harus bisa dijernihkan supaya tidak menjadi kontradiksi dari berfilsafat, yaitu bijaksana. Secara teoritis seseorang bisa dengan mudah mengatakan bahwa 'semua ini karena hasil pikiran saya'.
Dengan kalimat yang lebih populer 'semua ini karena hasil kerja keras saya'. Namun, faktanya tidak selalu demikian. Berapa persen hasil pikiran yang telah mempengaruhi kehidupan anda?
Contoh paling mudah adalah tentang identitas diri. Seseorang tidak mungkin sanggup untuk memilih identitasnya sendiri. Orang yang paling jenius sekalipun, nyatanya ia tidak mampu memilih siapa dirinya.
Hal ini menandakan bahwa 'berpikir' mempunya keterbatasan. Ada banyak hal yang tidak bisa ditembus oleh alam pikiran. Maka ke-Aku-an mau tidak mau harus pula direduksi sedemikian rupa menjadi sekedar 'yang bisa dirasa'.
Berpikir diwujudkan dari apa yang dikecap oleh indera. Di luar itu, manusia tidak bisa apa-apa. Indera manusia sifatnya terbatas, sebagai contoh mata.
Mata manusia tidak melihat sesuatu secara 360 derajat. Jarak pandangnya terbatas. Secara hukum ilmiah, hal ini tidak bisa dijadikan sebagai bukti valid terhadap pernyataan yang dihasilkan oleh mata.
Demikian juga indera yang lainnya. Kesimpulan dari indera-indera ini belum bisa dijadikan sebagai sebuah kebenaran. Maka dari itu, manusia harus paham tentang kedudukannya terhadap sebuah kebenaran.
Ketika manusia menjadikan inderanya sebagai sumber kebenaran, maka yang terjadi ke-Aku-an membawa dirinya kepada lingkaran kebodohan. Ia hanya bermain-bermain terhadap prasangkanya sendiri.
Pengetahuan sulit mmemasuki alam pikirannya dikarenakan ia merasa cukup terhadap apa yang sudah dimilikinya. Sementara itu, waktu sebagai penanda eksistensi terus-menerus berjalan.
Source image: pixabay.com
EmoticonEmoticon