Hukum Kausalitas dalam filsafat perspektif Mulla Shadra
Hakikat Hubungan Sebab dan Akibat Menurut Mulla Shadra
Di sini perlu diketahui, “kausalitas” supaya dibedakan dengan artian “kausalitas” dalam ilmu-ilmu alam atau fisika. Sebagaimana berkali-kali ditunjukkan oleh para filosof, “sebab” di dunia fisik mengacu pada sumber efisien gerak.
“Sebab” dalam istilah ilmu alam adalah pelaku (agent) dan pemberi gerak, dan bukan penganugerah wujud. Akan tetapi, pelaku dalam istilah metafisika adalah pelaku dan pemberi wujud.
Dua istilah teknis itu memang kerap terkacaukan, terutama dalam pelbagai pernyataan para filosof modern. Untuk klarifikasi lebih mendalam atas beberapa bagian diskusi ini, rujuk jilid Ketiga Ushul-e Falsafeh wa Rawisy-e Riyalism (Prinsip-Prinsip dan Metode Filsafat Realisme).
Dalam kaitan dengan kausalitas, Mulla Shadra menandaskan bahwa hubungan akibat dan sebab merupakan hubungan “penyinaran (illuminative)”, dan bahwa penyebaban (causation) itu sendiri tidak lain adalah “penyinaran (illumination)”.
Hal yang secara tradisional diakui dalam filsafat mengenai hubungan sebab dan akibat adalah bahwa sebab menghadirkan eksistensi dan wujud pada akibat sehingga seolah-olah pihak pertama memberi pihak kedua suatu hal yang ketiga: secara berurutan yang pertama adalah sebab; yang kedua adalah akibat; dan yang ketiga adalah eksistensi atau wujud.
Gambaran penyebaban ini melukiskan pemberi, penerima, dan sesuatu yang diberikan maupun diterima (secara terpisah-pisah). Tentu saja, gambaran itu menyamakan hubungan antara pemberi dan penerima (wujud) dengan hubungan (mutual) antara dua hal pada umumnya.
Perumpamaannya, seorang ayah dan anak adalah dua maujud. Yang pertama merupakan sumber bagi yang kedua, dalam arti bahwa anak berasal dari ayah. Lalu, terjadilah suatu hubungan di antara kedua sebagai hakikat ayah atau anak.
Namun, kita tahu bahwa wujud ayah adalah satu hal, wujud anak adalah hal lain, dan hubungan di antara keduanya adalah hal yang lain lagi. Hubungan serupa tergambar pada sebab dan akibat, yang diacu sebagai hubungan kausal: suatu hubungan antara pemberi dan penerima wujud.
Hubungan sebab-akibat itu sendiri tidak sama dengan wujud sebab atau akibat. Hubungan itu semata-mata terjadi antara dua hal, seperti keayahan dan keanakan yang merupakan hubungan antara seorang ayah dan anak.
Kaum Sufi meyakini bahwa maujud selain Allah adalah sekutu-Nya, karenanya keyakinan pada sesuatu selain-Nya merupakan syirik dan penyekutuan. Atas dasar itu, kaum Sufi menyangkal kausalitas. Sebaliknya, filosof meyakini bahwa makna “penciptaan” yang termaktub dalam Al-Quran ialah kausasi Dzat Allah, dan bukan tajalli atau penampakan-Nya.
Lalu, apakah perselisihan ini bersifat terminologis belaka? Jelas tidak. Sebab, dalam konsep tajalli dan penampakan, ada asumsi kesatuan antara Sumber dan objek penampakan; antara pantulan dan Pemantulnya.
Dengan demikian, hakikat tajalli dan penampakan ialah Dzat yang Tampak itu sendiri, lantaran segi yang menampak bukanlah sesuatu yang berbeda dari Jati Diri si 'Penampak’.
Salah satu kerja besar Mulla Shadra ialah mendekatkan pemahaman kausalitas dan tajalli dengan membuktikan bahwa akibat dan efek sebenarnya tak lebih dari “satu derajat dari berbagai derajat sebab, satu penampakan dari berbagai penampakannya, dan satu wajah dari berbagai wajahnya”.
Dengan demikian, pada hakikatnya Mulla Shadra mengembalikan kausalitas kepada tajalli Sebelum Mulla Shadra, para filosof menduga bahwa antara sebab dan akibat terdapat penghubung (rabith’) yang menyambungkan keduanya.
Jelasnya, menurut rnereka, sebab merupakan entitas yang terpisah dari akibat dan demikian pula sebaliknya. Melalui penghubung keduanya itulah sebab melahirkan akibat dalam rangkaian sebab-akibat. Sebagai contoh, kalau A adalah sebab dan B adalah akibat, maka kausalitas ialah terkaitnya B pada hakikat A lewat sejenis keterhubungan (intisab atau idhafah).
Mulla Shadra menolak asumsi ini dengan membuktikan bahwa hakikat akibat ialah keterhubungan dengan sebab itu sendiri. Akibat dan efek itu tak lain adalah entitas yang menyatu-padu dengan sebab.
Akibat bukanlah hasil pencerahan atau iluminasi (isyraq) sebab pada suatu entitas sehingga akibat bergantung pada sebabnya melalui iluminasi, melainkan merupakan inti kebergantungan dan iluminasi itu sendiri (karena yang ada di alam wujud hanyalah wujud sebab, tak lain dan tak bukan).
Perwujudan adalah hakikat Pewujud, sedangkan kebergantungan ialah hakikat objek yang bergantung. Alhasil, Mulla Shadra berhasil membuktikan bahwa realitas sebab-akibat sama dengan tajalli.
Kaum Sufi menolak gagasan kausalitas para filosof terdahulu lantaran yang belakangan meyakini bahwa Dzat Allah adalah Sebab bagi segala sesuatu, sehingga Dzat Allah sendiri adalah satu hal, sedangkan penyebaban (kausasi) dan penciptaan adalah hal lain, dan demikian juga sosok akibat atau objek ciptaan adalah hal ketiga yang lain lagi. Hasilnya, alam wujud menampung tiga hal yang berbeda.
Menurut Mulla Shadra, tindak mencipta (khalq) dan ciptaannya (makhluk) adalah sesuatu yang identik. Maka dari itu, penciptaan dan ciptaan tidak lebih dari salah satu nuansa Sebab dan bukan hal yang terpisah darinya. Perbedaan antara tindak penyebaban dan akibat atau penciptaan dan ciptaan semata-mata bersifat mental dan rekaan belaka.
Di samping itu, kendati terdapat keberagaman hakiki (katsrah) antara sebab dan akibat, keberagaman itu sendiri mengacu pada satu sisi (atau nuansa) kesatuan antara keduanya. Karena, akibat bukanlah sesuatu selain sebabnya.
Bahkan, akibat tak lain dari nuansa dan berkedudukan sebagai nama dan sifat dari sebabnya. Jelasnya, sebagaimana sifat merupakan satu segi dari penyandangnya, demikian pula akibat merupakan satu segi dari sebabnya.
Oleh sebab itu, bila kita mencermati hakekat wujud segala sesuatu, mustahil kita bisa memisahkannya dari Dzat Penyandangnya, yakni Allah. Namun, karena kita senantiasa mencerap segenap rnaujud rnelalui esensi-esensinya yang beragam, kita melihat alam wujud secara beragam dan bukan manunggal.
Dalam konteks ini,
Mulla Shadra telah berhasil mendamaikan cara-pandang para filosof dan para Sufi
dengan membuktikan bahwa kausalitas tak lain adalah tajalli dan
tajalli tak terjadi kecuali dalam
kerangka hukum kausalitas.
Sumber gambar: pexels.com
EmoticonEmoticon