materi pelajaran filsafat, cara blogger menghasilkan uang, seo blog, google adsense, blog gratisan, download ebook gratis, materi pelajaran Pemikiran Metafiska Al Farabi - Filocopy.id

Pemikiran Metafiska Al Farabi

Pemikiran Metafiska  Al Farabi
Ilustrasi Pemikiran Metafisika Al Farobi

Pemikiran Metafiska  Al Farabi 

Sekilas Tentang Al Farabi

Al Farabi adalah penerus tradisi  intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi,  kreativitas,  kebebasan  berpikir dan tingkat  sofistikasi  yang lebih tinggi  lagi.  Jika  al-Kindi dipandang sebagai seorang filosof  Muslim dalam arti kata yang sebenarnya,  Al Farabi  disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu  terus dibangun dengan  tekun.  

Ia  terkenal  dengan sebutan Guru Kedua dan otoritas  terbesar setelah Aristoteles. Ia  terkenal karena telah  mengenalkan  doktrin  “Harmonisasi pendapat  Plato dan Aristoteles”. Ia mempunyai kapasitas ilmu logika  yang memadai.  Dikalangan pemikir Latin  ia  dikenal sebagai Abu Nashr atau Abunaser

Riwayat Hidup Al Farabi

Ia adalah Abu Nasr Muhammad Al Farabi lahir di Wasij, suatu desa di  Farab (Transoxania) pada tahun 870 M.  Al Farabi dalam sumber-sumber  Islam lebih  akrab dikenal sebagai Abu Nasr. 

Ia berasal dari keturunan Persia. Ayahnya Muhammad Auzlagh adalah seorang  Panglima Perang Persia yang kemudiaan menetap di Damsyik. Ibunya berasal dari Turki. Oleh karena itu ia biasa disebut orang Persia atau orang Turki.

Sebagai pembangun sistem filsafat, ia telah membaktikan diri untuk berkontemplasi, menjauhkan diri dari dunia politik walaupun menulis karya-karya politik yang monumental. Ia  meninggalkan risalah penting. 

Filsafatnya menjadi acuan pemikiran  ilmiah bagi dunia Barat  dan Timur. Lama sepeninggalnya Al Farabi hidup di tengah kegoncangan masyarakat dan politik Islam. 

Pemerintah pusat Bani Abbasiyah di Baghdad sedang berada di dalam kekacauan di bawah pimpinan khalifah-khalifah  Radli, Muttaqi, Mustakfi. Saat itu bermunculan  negara-negara di daerah yang  mengambil alih kekuasaan. 

Al Farabi dengan cemas hati melihat perpecahan khalifah dan kemunduran  masyarakat Islam. Sebagaimana  sudah disinggung diatas, ia tidak aktif dalam bidang politik, tetapi memberikan kontribusi pemikiran dengan menulis buku politik untuk memperbarui tata negara. Pembaruan itu menurutnya hanya dapat berhasil bila berakar kokoh dalam fondasi filsafat. 

Walaupun Al Farabi merupakan ahli metafiska Islam  yang pertama terkemuka namun ia lebih terkenal di kalangan kaum Muslimin sebagai penulis karya-karya filsafat politik. 

Para ahli sepakat memberikan pujian yang tinggi kepadanya, terutama sebagai ahli logika yang masyhur  dan juru bicara Plato dan Aristoteles pada masanya. Ia  belajar  logika ke adaa Yuhanna  ibn Hailan di  Baghdad.  Ia  memperbaiki  studi logika,  meluaskan dan melengkapi aspek-aspek rumit yang telah ditinggalkan al-Kindi.

Kehidupan Al Farabi dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama bermula dari sejak lahir sampai usia lima tahun. Pendidikan dasarnya ialah keagamaan dan bahasa; ia mempelajari fikh, hadis, dan tafsir al Qur’an. Ia juga mempalajari bahasa Arab, Turki dan Persia.

Periode  kedua adalah periode usia tua  dan kematangan intelektual. Baghdad merupakan tempat belajar yang terkemuka pada abad ke 10 M. Di sana ia bertemu dengan sarjana dari berbagai bidang, diantaranya para filosof dan penerjemah. 

Ia tertarik untuk mempelajari logika, dan diantara ahli logika paling terkemuka adalah Abu  Bisyr Matta ibn  Yunus. Untuk beberapa  lama ia  belajar dengannya. Baghdad merupakan kota yang  pertama kali dikunjunginya. 

Di sini ia berada selama dua puluh tahun, kemudian pindah ke Damaskus. Di sini ia berkenalan dengan Gubernur Aleppo, Saifuddaulah al-Hamdani. Gubernur ini sangat terkesan dengan Al Farabi, lalu diajaknya pindah ke Aleppo dan kemudian mengangkat Al Farabi sebagai ulama istana.

Kota  kesayangannya adalah Damaskus. Ia  menghabiskan umurnya bukan di tengah-tengah kota, akan tetapi di sebuah kebun yang terletak di pinggir kota. 

Di tempat inilah ia kebanyakan  mendapat ilham menulis buku-buku filsafat. Begitu  mendalam penyelidikanya tentang filsafat  Yunani terutama mengenai filsafat Plato dan Aristoteles, sehingga ia digelari julukan  Mu’alim  Tsani  (Guru Kedua), karena Guru Pertama diberikan kepada Aristoteles, disebabkan usaha Aristoteles meletakkan dasar ilmu logika yang pertama dalam sejarah dunia.

Al Farabi menunjukkan kehidupan  spiritual dalam usianya yang masih sangat muda dan mempraktekkan kehidupan sufi. Ia juga ahli musik terbesar dalam sejarah Islam dan komponis beberapa irama musik,yang masih dapat didengarkan dalam perbendaharaan lagu sufi musik India. Maulawiyah dari  Anatolia masih terus memainkan komposisinya sampai sekarang. 

Al Farabi telah mengarang  ilmu musik dalam lima  bagian. Buku-buku ini masih berupa naskah dalam bahasa Arab, akan tetapi sebagiannya sudah diterbitkan dalam bahasa Perancis oleh D’Erlenger. 

Teorinya tentang harmoni  belum  dipelajari secara mendalam. Pengetahuan estetika  Al Farabi bergandengan dengan kemampuan logikanya. Ia meninggal pada tahun 950 M dalam usia 80 tahun.

Karya Karya Al Farabi

Ia meninggalkan sejumlah besar tulisan  penting. Karya Al Farabi dapat dibagi menjadi dua, satu diantaranya mengenai logika dan mengenai  subyek lain. Tentang logika Al Farabi mengatakan bahwa filsafat dalam arti penggunaan akal pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu daripada keberadaan agama , baik ditinjau dari  sudut waktu  (temporal)  maupun  dari  sudut logika. 

Dikatakan “lebih dahulu” dari sudut pandang waktu, karena Al Farabi berkeyakinan  bahwa masa permulaan filsafat, dalam arti penggunaan akal secara luas bermula sejak zaman  Mesir Kuno dan  Babilonia, jauh sebelum Nabi  Ibrahim dan Musa.  Dikatakan lebih  dahulu secara  logika karena semua kebenaran dari agama harus dipahami dan dinyatakan, pada mulanya lewat cara-cara yang rasional, sebelum kebenaran itu diambil oleh para Nabi 

Karya  Al Farabi tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari karya Aristoteles, baik dalam bentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah; dan sebagain besar naskah-naskah ini belum ditemukan. 

Sedang karya dalam kelompok kedua menyangkut berbagai cabang  pengetahuan filsafat, fisika, matematika dan politik. Kebanyakan pemikiran yang dikembangkan oleh Al Farabi sangat berafiliasi dengan sistem pemikiran Hellenik berdasarkan Plato dan Aristoteles.

Diantara judul karya Al Farabi yang terkenal adalah :

1.  Maqalah fi Aghradhi ma Ba’da al-Thabi’ah

2.  Ihsha’al-Ulum

3.  Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah

4.  Kitab Tahshil al-Sa’adah

5.  ‘U’yun al-Masa’il

6.  Risalah fi al-Aql

7.  Kitab al-Jami’bain Ra’y al-Hakimain : al-Aflatun wa Aristhu

8.  Risalah fi Masail Mutafariqah

9.  Al-Ta’liqat

10. Risalah fi Itsbat al-Mufaraqat 

Pemikiran Al Farabi Tentang  Metafisika

Menyibukkan diri di bidang filsafat bukanlah suatu kegiatan yang hanya  dilakukan  oleh segelintir orang saja,  melainkan merupakan salah satu ciri  kemanusiaan kita.  Berfilsafat  merupakan salah satu kemungkinan yang terbuka bagi setiap orang. 

Seketika ia mampu menerobos lingkaran kebiasaan sehari-hari. Salah satu cabang filsafat adalah metafisika. Kebutuhan  manusia akan metafisika merupakan dorongan yang muncul dari hidup manusia yang mempertanyakan hakikat kenyataan.

Manusia adalah produk  masyarakat tertentu. Ia  adalah anak zamannya. Manusia tidak membentuk diri sendiri. Opini-opini pribadi dibentuk oleh masyarakat tempat tinggalnya. Setiap pemikiran selalu mewakili zamannya dan hasil dialektika dengan sejarahnya. 

Hasilnya terkadang spekulatif  dan terkadang pula hasil pengembangan pemikiran yang sudah ada. Diskusi tentang metafisika ini  sudah dimulai dari masa Yunani Kuno yang mempersoalkan tentang  being atau “yang ada”. 

Heraklitos dikritik oleh Parmanides, Plato dikritik oleh Aristoteles (Guru Pertama). Heraklitos berteori bahwa hakikat kenyataan  adalah perubahan.  Teori  ini  ditentang oleh  Parmanides yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan adalah yang tetap. 

Plato berusaha mengkompromikan wacana ini dengan cara mengakomodir keduanya. Baginya hakikat kenyataan adalah dua yaitu yang tetap (alam ide)  dan yang berubah (alam nyata). Plato sendiri berpihak kepada alam  yang tetap yaitu alam ide sebagai hakikat sesungguhnya kenyataan. 

Sedangkan alam yang berubah yaitu alam nyata hanyalah bayangan saja. Aristoteles murid Plato juga mencoba memecahkan masalah ini. Ia mengikuti pembagian kenyataan ini kepada dua yaitu yang tetap (form )  dan  yang berubah (matter). 

Aristoteles berbeda dengan Plato, berpihak pada yang berubah. Dalam penyusunan logika yang terbagi kepada dua belas kategori pada hakikatnya ia membagi kepada dua yaitu esensi dan aksidensi. Al Farabi seperti  Aristoteles membedakan antara materi  dan bentuk.

Materi merupakan  kemungkinan,  sedangkan bentuk  yang menentukan kemungkinan itu. Sebagai contoh ia mengatakan bahwa kayu sebagai materi mengandung banyak kemungkinan menjadi kursi, lemari dan sebagainya. Kemungkinan itu baru lah terlaksana menjadi suatu kenyataan kalau diberi bentuk. Misalnya bentuk kursi, lemari, meja dan sebagainya.

Ajaran Aristoteles tentang  materi bentuk, berangkat dari ajaran tentang gerak. Gerak menurut  Aristoteles  ada dua macam,  gerak karena perbuatan  (aksi) seperti batu yang dilemparkan orang, dan gerak spontan menurut  kodrat,  seperti  batu yang jatuh  ke  bawah. 

Pengertian gerak (Yunani –kinesis, Latin  motus, Inggris  motion) bagi Aristoteles tidak sebagaimana pengertian modern ; perubahan lokal, seperti bergeraknya mobil dari suatu tempat ke tempat yang lain. Bagi Aristoteles, gerak juga berarti  perubahan,  dan perubahan  dapat dibedakan kedalam empat macam ; perubahan/gerak substansial, gerak  kuantitatif, gerak kualitatif, dan gerak lokal.

Gerak susbstansial adalah perubahan  dari  suatu substansi menjadi  substansi lain, misalnya jika seekor anjing mati kemudian berubah  menjadi  bangkai, maka ia  telah mengalami perubahan substansial. Atau mungkin juga bisa dikatakan kayu yang dibakar kemudian berubah menjadi abu.

Gerak kuantitatif, yaitu perubahan yang terjadi pada kuantitasnya seperti dari satu menjadi dua, tiga dan seterusnya, atau dari kecil menjadi besar, seperti pohon kecil menjadi besar. Gerak  kualitatif,  jika kertas putih berubah  warnanya menjadi kuning, atau bunga yang berwarna merah jingga kemudian esok harinya berubah menjadi layu, maka perubahan itulah  yang disebut  perubahan  kualitatif.

Gerak lokal,  yaitu perpindahan dari suatu tempat  ketempat lain, misalnya pagi hari malas berada di kamar kemudian siang hari berada di ruang tamu.

Kemudian  Aristoteles menyusun logika yang merupakan hukum-hukum berpikir secara silogistis. Walaupun Aristoteles sudah merekomendasikan ke alam nyata namun dengan silogistis ini maka dialektika antara kenyataan dengan akal menjadi penting dan akal lebih merupakan penentu. 

Setelah Plato dan Aristoteles tidak ada pemikir genial yang muncul. Baru lima abad kemudian muncul Plotinus. Plotinus menerangkan kemunculan alam dengan adanya hirarcy of being.

Metafisika, menurut Al Farabi dapat dibagi menjadi tiga bagian utama :

Bagian  yang berkenaan  dengan eksistensi wujud-wujud, yaitu ontologi.

Bagian yang berkenaan dengan substansi-substansi material, sifat  dan bilangannya, serta derajat keunggulannya, yang pada akhirnya memuncak dalam studi tentang    “ suatu wujud sempurna yang  tidak  lebih besar dari pada yang dapat dibayangkan”, yang merupakan  prinsip terakhir dari segala sesuatu yang lainnya mengambil sebagai   sumber wujudnya, yaitu teologi.

Bagian yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama demonstrasi yang mendasari ilmu-ilmu khusus.

Ilmu filosofis tertinggi adalah metafisika (al-ilm al-ilahi) karena materi subyeknya berupa wujud nonfisik mutlak yang menduduki peringkat tertinggi dalam hierarki wujud. Dalam terminologi religius, wujud non fisik  mengacu kepada Tuhan  dan malaikat. Dalam terminologi filosofis, wujud ini merujuk pada Sebab Pertama, sebab kedua, dan intelek aktif.

Dalam kajian  metafisika salah satu tujuannya adalah untuk menegakkan  tauhid secara benar. Karena tauhid merupakan dasar dari ajaran  Islam. Segala yang ada selain Allah adalah makhluk, diciptakan (hadis). Tetapi bagaimana yang banyak keluar dari yang Ahad memunculkan diskusi yang mendalam.

Masuknya filsafat  Yunani ke  dunia Islam tentu saja  menimbulkan berbagai persoalan, karena para apparatus ilmu/ ulama merespons dengan ilmu mereka  masing masing.

Filsafat dan ilmu Menurut Al Farabi

Pengetahuan  timbul sebagai  produk  pemikiran manusia.  Akal yang dianugerahakan Tuhan kepada manusia itulah yang menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam kebudayaan Yunani dan Persia akal mempunyai kedudukan penting. 

Sementara di dalam  Islam akal juga mempunyai kedudukan yang tinggi.  Akal mempunyai kedudukan yang tinggi didalam al-Quran dan Hadis. Ayat yang pertama turun memerintahkan umat untuk membaca yang berarti berpikir. 

Para ulama Islam zaman klasik menyadari hal itu dan dengan demikian menghargai akal yang kedudukannya tinggi itu. Mereka tidak segan-segan mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani yang mereka jumpai  di daerah-daerah Bizantium dan Persia yang jatuh kebawah kekuasaan Islam. 

Seperti yang sudah disinggung didepan, ini sejalan dengan kedudukan tinggi dari akal yang terdapat dalam peradaban Yunani yang dibawa Alexander Yang Agung ke Timur Tengah pada abad ke-IV SM. Karena itu ada  mindset  yang sama. Persepsi yang sama ini bertemu dan mempermudah usaha pemaduannya.

Karena ada platform atau mind set yang sama maka umat Islam pada  masa Islam klasik tanpa beban mencoba untuk mengambil filsafat dan ilmu pengetahuan dari Yunani itu.  Karena khazanah Yunani itu  dalam  bahasa Yunani  maka  dilaksanakan program penerjemahan kedalam bahasa Arab. 

Pada mulanya buku-buku itu diterjemahkan kedalam bahasa Siriac, bahasa ilmu pengetahuan di Mesopotamia pada saat itu. Kemudian kedalam bahasa Arab dan akhirnya penerjemahan langsung ke dalam bahasa Arab.

Pandangan luas dari ulama zaman itu membuat para filosof Islam seperti al-Kindi, Al Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawaih, Ibn Tufail dan Ibn Rusyd dapat menerima filsafat Pytagoras, Plato, Aristoteles,dan lain lain, walaupun sesungguhnya menurut Harun filosof-filosof Yunani itu bukan orang yang beragama, seperti yang dikenal dalam Abrahamic  Religion

Filsafat mereka dengan mudah dapat disesuaikan oleh filosof-filosof Islam itu dengan ajaran dasar dalam al-Quran. Idea Tertinggi Plato, Penggerak Pertama Aristoteles, dan Yang Maha Satu Plotinus  mereka identikkan  dengan Allah SWT. 

Bahkan Al Farabi berpendapat bahwa Plotinus dan Aristoteles termasuk dalam jumlah nabi-nabi  yang tidak disebutkan  namanya dalam al-Quran. Oleh karena itu ia berusaha untuk mendamaikan filsafat Aristoteles dengan gurunya Plato.



Sumber gambar: pixabay.com


EmoticonEmoticon

Menu Navigasi Utama

Formulir Kontak