Pemikiran Metafiska Al Farabi
Sekilas Tentang Al Farabi
Al Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat sofistikasi yang lebih tinggi lagi. Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang filosof Muslim dalam arti kata yang sebenarnya, Al Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus dibangun dengan tekun.
Ia terkenal dengan sebutan Guru Kedua dan otoritas terbesar setelah Aristoteles. Ia terkenal karena telah mengenalkan doktrin “Harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles”. Ia mempunyai kapasitas ilmu logika yang memadai. Dikalangan pemikir Latin ia dikenal sebagai Abu Nashr atau Abunaser
Riwayat Hidup Al Farabi
Ia adalah Abu Nasr Muhammad Al Farabi lahir di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) pada tahun 870 M. Al Farabi dalam sumber-sumber Islam lebih akrab dikenal sebagai Abu Nasr.
Ia berasal dari keturunan Persia. Ayahnya Muhammad Auzlagh adalah seorang Panglima Perang Persia yang kemudiaan menetap di Damsyik. Ibunya berasal dari Turki. Oleh karena itu ia biasa disebut orang Persia atau orang Turki.
Sebagai pembangun sistem filsafat, ia telah membaktikan diri untuk berkontemplasi, menjauhkan diri dari dunia politik walaupun menulis karya-karya politik yang monumental. Ia meninggalkan risalah penting.
Filsafatnya menjadi acuan pemikiran ilmiah bagi dunia Barat dan Timur. Lama sepeninggalnya Al Farabi hidup di tengah kegoncangan masyarakat dan politik Islam.
Pemerintah pusat Bani Abbasiyah di Baghdad sedang berada di dalam kekacauan di bawah pimpinan khalifah-khalifah Radli, Muttaqi, Mustakfi. Saat itu bermunculan negara-negara di daerah yang mengambil alih kekuasaan.
Al Farabi dengan cemas hati melihat perpecahan khalifah dan kemunduran masyarakat Islam. Sebagaimana sudah disinggung diatas, ia tidak aktif dalam bidang politik, tetapi memberikan kontribusi pemikiran dengan menulis buku politik untuk memperbarui tata negara. Pembaruan itu menurutnya hanya dapat berhasil bila berakar kokoh dalam fondasi filsafat.
Walaupun Al Farabi merupakan ahli metafiska Islam yang pertama terkemuka namun ia lebih terkenal di kalangan kaum Muslimin sebagai penulis karya-karya filsafat politik.
Para ahli sepakat memberikan pujian yang tinggi kepadanya, terutama sebagai ahli logika yang masyhur dan juru bicara Plato dan Aristoteles pada masanya. Ia belajar logika ke adaa Yuhanna ibn Hailan di Baghdad. Ia memperbaiki studi logika, meluaskan dan melengkapi aspek-aspek rumit yang telah ditinggalkan al-Kindi.
Kehidupan Al Farabi dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama bermula dari sejak lahir sampai usia lima tahun. Pendidikan dasarnya ialah keagamaan dan bahasa; ia mempelajari fikh, hadis, dan tafsir al Qur’an. Ia juga mempalajari bahasa Arab, Turki dan Persia.
Periode kedua adalah periode usia tua dan kematangan intelektual. Baghdad merupakan tempat belajar yang terkemuka pada abad ke 10 M. Di sana ia bertemu dengan sarjana dari berbagai bidang, diantaranya para filosof dan penerjemah.
Ia tertarik untuk mempelajari logika, dan diantara ahli logika paling terkemuka adalah Abu Bisyr Matta ibn Yunus. Untuk beberapa lama ia belajar dengannya. Baghdad merupakan kota yang pertama kali dikunjunginya.
Di sini ia berada selama dua puluh tahun, kemudian pindah ke Damaskus. Di sini ia berkenalan dengan Gubernur Aleppo, Saifuddaulah al-Hamdani. Gubernur ini sangat terkesan dengan Al Farabi, lalu diajaknya pindah ke Aleppo dan kemudian mengangkat Al Farabi sebagai ulama istana.
Kota kesayangannya adalah Damaskus. Ia menghabiskan umurnya bukan di tengah-tengah kota, akan tetapi di sebuah kebun yang terletak di pinggir kota.
Di tempat inilah ia kebanyakan mendapat ilham menulis buku-buku filsafat. Begitu mendalam penyelidikanya tentang filsafat Yunani terutama mengenai filsafat Plato dan Aristoteles, sehingga ia digelari julukan Mu’alim Tsani (Guru Kedua), karena Guru Pertama diberikan kepada Aristoteles, disebabkan usaha Aristoteles meletakkan dasar ilmu logika yang pertama dalam sejarah dunia.
Al Farabi menunjukkan kehidupan spiritual dalam usianya yang masih sangat muda dan mempraktekkan kehidupan sufi. Ia juga ahli musik terbesar dalam sejarah Islam dan komponis beberapa irama musik,yang masih dapat didengarkan dalam perbendaharaan lagu sufi musik India. Maulawiyah dari Anatolia masih terus memainkan komposisinya sampai sekarang.
Al Farabi telah mengarang ilmu musik dalam lima bagian. Buku-buku ini masih berupa naskah dalam bahasa Arab, akan tetapi sebagiannya sudah diterbitkan dalam bahasa Perancis oleh D’Erlenger.
Teorinya tentang harmoni belum dipelajari secara mendalam. Pengetahuan estetika Al Farabi bergandengan dengan kemampuan logikanya. Ia meninggal pada tahun 950 M dalam usia 80 tahun.
Karya Karya Al Farabi
Ia meninggalkan sejumlah besar tulisan penting. Karya Al Farabi dapat dibagi menjadi dua, satu diantaranya mengenai logika dan mengenai subyek lain. Tentang logika Al Farabi mengatakan bahwa filsafat dalam arti penggunaan akal pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu daripada keberadaan agama , baik ditinjau dari sudut waktu (temporal) maupun dari sudut logika.
Dikatakan “lebih dahulu” dari sudut pandang waktu, karena Al Farabi berkeyakinan bahwa masa permulaan filsafat, dalam arti penggunaan akal secara luas bermula sejak zaman Mesir Kuno dan Babilonia, jauh sebelum Nabi Ibrahim dan Musa. Dikatakan lebih dahulu secara logika karena semua kebenaran dari agama harus dipahami dan dinyatakan, pada mulanya lewat cara-cara yang rasional, sebelum kebenaran itu diambil oleh para Nabi
Karya Al Farabi tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari karya Aristoteles, baik dalam bentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah; dan sebagain besar naskah-naskah ini belum ditemukan.
Sedang karya dalam kelompok kedua menyangkut berbagai cabang pengetahuan filsafat, fisika, matematika dan politik. Kebanyakan pemikiran yang dikembangkan oleh Al Farabi sangat berafiliasi dengan sistem pemikiran Hellenik berdasarkan Plato dan Aristoteles.
Diantara judul karya Al Farabi yang terkenal adalah :
1. Maqalah fi
Aghradhi ma Ba’da al-Thabi’ah
2. Ihsha’al-Ulum
3. Kitab Ara’ Ahl al-Madinah
al-Fadhilah
4. Kitab Tahshil al-Sa’adah
5. ‘U’yun al-Masa’il
6. Risalah fi al-Aql
7. Kitab al-Jami’bain
Ra’y al-Hakimain : al-Aflatun wa Aristhu
8. Risalah fi Masail
Mutafariqah
9. Al-Ta’liqat
10. Risalah fi Itsbat al-Mufaraqat
Pemikiran Al Farabi Tentang
Metafisika
Menyibukkan diri di bidang filsafat bukanlah suatu kegiatan yang hanya dilakukan oleh segelintir orang saja, melainkan merupakan salah satu ciri kemanusiaan kita. Berfilsafat merupakan salah satu kemungkinan yang terbuka bagi setiap orang.
Seketika ia mampu menerobos lingkaran kebiasaan sehari-hari. Salah satu cabang filsafat adalah metafisika. Kebutuhan manusia akan metafisika merupakan dorongan yang muncul dari hidup manusia yang mempertanyakan hakikat kenyataan.
Manusia adalah produk masyarakat tertentu. Ia adalah anak zamannya. Manusia tidak membentuk diri sendiri. Opini-opini pribadi dibentuk oleh masyarakat tempat tinggalnya. Setiap pemikiran selalu mewakili zamannya dan hasil dialektika dengan sejarahnya.
Hasilnya terkadang spekulatif dan terkadang pula hasil pengembangan pemikiran yang sudah ada. Diskusi tentang metafisika ini sudah dimulai dari masa Yunani Kuno yang mempersoalkan tentang being atau “yang ada”.
Heraklitos dikritik oleh Parmanides, Plato dikritik oleh Aristoteles (Guru Pertama). Heraklitos berteori bahwa hakikat kenyataan adalah perubahan. Teori ini ditentang oleh Parmanides yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan adalah yang tetap.
Plato berusaha mengkompromikan wacana ini dengan cara mengakomodir keduanya. Baginya hakikat kenyataan adalah dua yaitu yang tetap (alam ide) dan yang berubah (alam nyata). Plato sendiri berpihak kepada alam yang tetap yaitu alam ide sebagai hakikat sesungguhnya kenyataan.
Sedangkan alam yang berubah yaitu alam nyata hanyalah bayangan saja. Aristoteles murid Plato juga mencoba memecahkan masalah ini. Ia mengikuti pembagian kenyataan ini kepada dua yaitu yang tetap (form ) dan yang berubah (matter).
Aristoteles berbeda dengan Plato, berpihak pada yang berubah. Dalam penyusunan logika yang terbagi kepada dua belas kategori pada hakikatnya ia membagi kepada dua yaitu esensi dan aksidensi. Al Farabi seperti Aristoteles membedakan antara materi dan bentuk.
Materi merupakan kemungkinan, sedangkan bentuk yang menentukan kemungkinan itu. Sebagai contoh ia mengatakan bahwa kayu sebagai materi mengandung banyak kemungkinan menjadi kursi, lemari dan sebagainya. Kemungkinan itu baru lah terlaksana menjadi suatu kenyataan kalau diberi bentuk. Misalnya bentuk kursi, lemari, meja dan sebagainya.
Ajaran Aristoteles tentang materi bentuk, berangkat dari ajaran tentang gerak. Gerak menurut Aristoteles ada dua macam, gerak karena perbuatan (aksi) seperti batu yang dilemparkan orang, dan gerak spontan menurut kodrat, seperti batu yang jatuh ke bawah.
Pengertian gerak (Yunani –kinesis, Latin motus, Inggris motion) bagi Aristoteles tidak sebagaimana pengertian modern ; perubahan lokal, seperti bergeraknya mobil dari suatu tempat ke tempat yang lain. Bagi Aristoteles, gerak juga berarti perubahan, dan perubahan dapat dibedakan kedalam empat macam ; perubahan/gerak substansial, gerak kuantitatif, gerak kualitatif, dan gerak lokal.
Gerak susbstansial adalah perubahan dari suatu substansi menjadi substansi lain, misalnya jika seekor anjing mati kemudian berubah menjadi bangkai, maka ia telah mengalami perubahan substansial. Atau mungkin juga bisa dikatakan kayu yang dibakar kemudian berubah menjadi abu.
Gerak kuantitatif, yaitu perubahan yang terjadi pada kuantitasnya seperti dari satu menjadi dua, tiga dan seterusnya, atau dari kecil menjadi besar, seperti pohon kecil menjadi besar. Gerak kualitatif, jika kertas putih berubah warnanya menjadi kuning, atau bunga yang berwarna merah jingga kemudian esok harinya berubah menjadi layu, maka perubahan itulah yang disebut perubahan kualitatif.
Gerak lokal, yaitu perpindahan dari suatu tempat ketempat lain, misalnya pagi hari malas berada di kamar kemudian siang hari berada di ruang tamu.
Kemudian Aristoteles menyusun logika yang merupakan hukum-hukum berpikir secara silogistis. Walaupun Aristoteles sudah merekomendasikan ke alam nyata namun dengan silogistis ini maka dialektika antara kenyataan dengan akal menjadi penting dan akal lebih merupakan penentu.
Setelah Plato dan Aristoteles tidak ada pemikir genial yang muncul. Baru lima abad kemudian muncul Plotinus. Plotinus menerangkan kemunculan alam dengan adanya hirarcy of being.
Metafisika, menurut Al Farabi dapat dibagi menjadi tiga bagian utama :
Bagian yang
berkenaan dengan eksistensi wujud-wujud,
yaitu ontologi.
Bagian yang berkenaan dengan substansi-substansi material,
sifat dan bilangannya, serta derajat
keunggulannya, yang pada akhirnya memuncak dalam studi tentang “ suatu wujud sempurna yang tidak
lebih besar dari pada yang dapat dibayangkan”, yang merupakan prinsip terakhir dari segala sesuatu yang
lainnya mengambil sebagai sumber
wujudnya, yaitu teologi.
Bagian yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama
demonstrasi yang mendasari ilmu-ilmu khusus.
Ilmu filosofis tertinggi adalah metafisika (al-ilm al-ilahi) karena materi subyeknya berupa wujud nonfisik mutlak yang menduduki peringkat tertinggi dalam hierarki wujud. Dalam terminologi religius, wujud non fisik mengacu kepada Tuhan dan malaikat. Dalam terminologi filosofis, wujud ini merujuk pada Sebab Pertama, sebab kedua, dan intelek aktif.
Dalam kajian metafisika salah satu tujuannya adalah untuk menegakkan tauhid secara benar. Karena tauhid merupakan dasar dari ajaran Islam. Segala yang ada selain Allah adalah makhluk, diciptakan (hadis). Tetapi bagaimana yang banyak keluar dari yang Ahad memunculkan diskusi yang mendalam.
Masuknya filsafat Yunani ke dunia Islam tentu saja menimbulkan berbagai persoalan, karena para apparatus ilmu/ ulama merespons dengan ilmu mereka masing masing.
Filsafat dan ilmu Menurut Al Farabi
Pengetahuan timbul sebagai produk pemikiran manusia. Akal yang dianugerahakan Tuhan kepada manusia itulah yang menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam kebudayaan Yunani dan Persia akal mempunyai kedudukan penting.
Sementara di dalam Islam akal juga mempunyai kedudukan yang tinggi. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi didalam al-Quran dan Hadis. Ayat yang pertama turun memerintahkan umat untuk membaca yang berarti berpikir.
Para ulama Islam zaman klasik menyadari hal itu dan dengan demikian menghargai akal yang kedudukannya tinggi itu. Mereka tidak segan-segan mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani yang mereka jumpai di daerah-daerah Bizantium dan Persia yang jatuh kebawah kekuasaan Islam.
Seperti yang sudah disinggung didepan, ini sejalan dengan kedudukan tinggi dari akal yang terdapat dalam peradaban Yunani yang dibawa Alexander Yang Agung ke Timur Tengah pada abad ke-IV SM. Karena itu ada mindset yang sama. Persepsi yang sama ini bertemu dan mempermudah usaha pemaduannya.
Karena ada platform atau mind set yang sama maka umat Islam pada masa Islam klasik tanpa beban mencoba untuk mengambil filsafat dan ilmu pengetahuan dari Yunani itu. Karena khazanah Yunani itu dalam bahasa Yunani maka dilaksanakan program penerjemahan kedalam bahasa Arab.
Pada mulanya buku-buku itu diterjemahkan kedalam bahasa Siriac, bahasa ilmu pengetahuan di Mesopotamia pada saat itu. Kemudian kedalam bahasa Arab dan akhirnya penerjemahan langsung ke dalam bahasa Arab.
Pandangan luas dari ulama zaman itu membuat para filosof Islam seperti al-Kindi, Al Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawaih, Ibn Tufail dan Ibn Rusyd dapat menerima filsafat Pytagoras, Plato, Aristoteles,dan lain lain, walaupun sesungguhnya menurut Harun filosof-filosof Yunani itu bukan orang yang beragama, seperti yang dikenal dalam Abrahamic Religion.
Filsafat mereka dengan mudah dapat disesuaikan oleh filosof-filosof Islam itu dengan ajaran dasar dalam al-Quran. Idea Tertinggi Plato, Penggerak Pertama Aristoteles, dan Yang Maha Satu Plotinus mereka identikkan dengan Allah SWT.
Bahkan Al Farabi
berpendapat bahwa Plotinus dan Aristoteles termasuk dalam jumlah nabi-nabi yang tidak disebutkan namanya dalam al-Quran. Oleh karena itu ia
berusaha untuk mendamaikan filsafat Aristoteles dengan gurunya Plato.
Sumber gambar: pixabay.com
EmoticonEmoticon