Akal menjadi indikator pembeda antara manusia dengan hewan dan tumbuhan. Eksistensi ke-manusiaa-an adalah dengan akalnya, setidaknya itu menurut Rene Descartes.
Dengan akal, manusia mempunyai rasa ingin tahu terhadap sesuatu. Rasa ingin tahu ini membawa manusia kepada ketidak-puasan terhadap apa yang telah menjadi pengetahuannya.
Pengalaman baik empirik maupun metafisik membuat manusia menemukan kebenarannya sendiri. Secara individual, hal tersebut bukanlah sebuah masalah. Namun, ketika dihadapkan kepada sebuah kerangka umum, kebenaran itu harus teruji secara ilmiah.
Kebenaran ilmiah dihasilkan dari penelitian ilmiah, ia harus lolos uji dari tahapan-tahapan yang harus dilalui (Imam Wahyudi, 2004: 255). Kebenaran ilmu secara metafisis mempunyai tumpuan pada objek ilmu. Dengan sebuah penelitian yang didukung oleh metode dan sarana penelitian akan menghasilkan pengetahuan.
Harus ada kemampuan di dalam menteorikan sebuah fakta supaya diketahui kebenaran maupun kesalahan, karena semua objek ilmu itu benar di dalam dirinya sendiri. Maka kebenaran ilmu adalah kebenaran setelah melalui tahapan-tahapan ilmiah.
Ilmu sebagai kajian epistemologi mempunyai kehidupannya sendiri. Ia mempunyai kerangka berpikir yang logis dan sistematis. Seseorang tidak bisa dengan tiba-tiba menyatakan bahwa pernyataannya merupakan sebuah kebenaran.
Pernyataan itu harus melalui verifikasi ilmiah untuk kemudian dianggap sebagai ilmu pengetahuan. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia tidak hanya berpikir, akan tetapi ia harus mampu membuktikan secara ilmiah bahwa ide-idenya bisa dijadikan sebagai ilmu.
Alat ukur kebenaran membuat kita terhindar dari fanatisme ‘palsu’--fanatisme yang sebetulnya tidak benar-benar diketahui sebabnya. Fenomena politik menggambarkan dengan jelas bahwa masih banyak manusia yang terjebak di dalam fanatisme palsu ini.
Jebakan kubuisme yang dibangun oleh ‘playmaker’ politik berhasil menyita perhatian masyarakat. Sehingga, masyarakat tidak lagi mempunyai waktu untuk menimbang benar-salah terhadap apa yang telah mereka terima. Dalih ‘pokoknya’ menjadi kalimat wajib ketika apa yang telah menjadi kebenarannya dipertanyakan.
KAJIAN PUSTAKA
1. Koherensi
Kebenaran koherensi banyak dikembangkan oleh Bradley, Hegel, dan Spinoza. Teori ini erat kaitannya dengan konsistensi. Karena pembutiannya adalah dari pernyataan-pernyataannya sendiri. Ia disebut benar jika sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis.
Sebuah pengetahuan dianggap benar jika proposisi yang dikemukakan mempunyai keterkaitan dengan ide-ide proposisi sebelumnya yang dianggap benar. Kesimpulannya, sebuah kebenaran dapat diuji melalui kejadian masa lalu, pembuktian logis, maupun matematis.
Disebut koherensi karena proposisi yang dikemukakan mempunyai hubungan (koheren) dengan proposisi sebelumnya yang terlebih dahulu diketahui yang dianggap benar. Teori koherensi erat kaitannya dengan idelaisme, karena untuk menentukan kebenarannya, ia tidak harus dipengaruhi oleh keadaan real peristiwa-peristiwa.
Maka, teori kebenaran koherensi sangat subyektif. Kaum idealis merumuskan bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu (Susanto: 2011). Karena subjektivitas mempunyai andil besar di dalam teori ini, maka pada akhirnya mempunyai banyak kelemahan.
Setiap manusia mempunyai tingkat pengetahuan dan pemahaman yang berbeda-beda. Sedangkan kebenaran harus mampu menggapai semua manusia. Maka, akhir-akhir ini teori koherensi tidak populer.
2. Korespondensi
Teori kebenaran korespondensi kadang disebut dengan accordance theory of truth, yaitu pernyataan-pernyataan adalah benar ketika berkorespondensi terhadap fakta. Dengan kata lain, ia harus mempunyai bukti empiris.
Sebuah proposisi benar jika mengandung fakta yang sesuai dan apa adanya (Bakhtiar: 2012). Senada dengan Jujun bahwa keadaan benar jika ada unsur kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan objek yang dituju (Jujun: 2000).
Teori korespondensi bisa dikatakan sebagai teori kebenaran yang paling awal pada sejarah filsafat. Para pelopor dari teori tersebut adalah Plato, Aristoteles, Moore, dan Ramsey. Teori ini acapkali dihubungkan dengan teori-teori empiris pengetahuan.
Dikembangkan oleh Bertrand Russel dan dianggap sebagai teori kebenaran tradisional karena sejak awal Aristoteles menyatakan bahwa kebenaran harus sesuai realitas yang diketahuinya.
Namun, realitas itu subjektif atau objektif menjadi sebuah perdebatan. Maka kemudian muncul dua pandangan yaitu idealisme epistemologis dan realisme epistemologis.
Idealisme epistemologis mempunyai pandangan bahwa setiap tindakan berakhir dalam sebuah ide, yang merupakan subjektif (Bakhtiar: 2012). Sedangkan realisme epistemologis menyatakan bahwa terdapat realitas yang independen, yang terlepas dari pemikiran. Tidak dapat diubah. Pandangan ini kemudian lebih dikenal dengan objektivisme.
Akhirnya kita dihadapkan pada dua realitas yaitu pernyataan dan kenyataan. Kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu terhadap kenyataan sesuatu itu sendiri. Kebenaran tidak hanya diyakini, akan tetapi harus bisa dibuktikan.
3. Pragmatisme
Pragmatisme mempunyai pandangan bahwa kebenaran adalah bergantung kepada nilai guna bagi manusia di dalam kehidupannya. Kegunaan atau ke-bermanfaat-an menjadi indikator kebenaran dari sebuah dalil atau teori yang dikemukakan. Ia harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.
Pragmatis berasal dari bahasa Yunani pragmai yang artinya adalah yang dikerjakan, tindakan, dilakukan. Maka, kebenaran dalam pandangan pragmatisme yaitu jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis yang bisa dikerjakan manusia.
Kebenaran tidak sebatas koheren dan koresponden, tetapi kebenaran juga harus mempunyai nilai manfaat bagi kehidupan manusia.
Teori kebenaran pragmatisme berkembang pada akhir abad ke-19 di Amerika Serikat. Tokoh-tokohnya adalah diantaranya yaitu, Charles Sander Pierce (1834-1914) dikenal dengan sebutan tokoh semiotic, William James, dan John Dewey.
Pragmatisme menekankan pentingnya kegunaan akal sebagai pemecah masalah (problem solving) bagi kehidupan manusia. Selama teori itu bermanfaat, maka ia bisa menjadi kebenaran. Kebenaran mutlak atau kebenaran universal menurut Charles Pierce adalah tidak ada.
Kebenaran sifatnya berubah atau relatif, menyesuaikan kondisi kehidupan manusia. Kebenaran masa lalu bisa jadi akan direvisi oleh kebenaran selanjutnya.
PEMBAHASAN
Perlu kiranya kita untuk mempertajam kajian kali ini dengan mengetengahkan contoh-contoh supaya mudah dipahami. Selain itu, mengetahui latar belakang tentang munculnya teori-teori kebenaran yang sudah kita bahas akan membantu kita sebagai bahan analisa terhadap kejadian masa lalu dan untuk menetahui bagaimana manusia masa lalu merespon terhadap kejadian yang di alaminya.
Kebenaran ilmu menjadi bingkai yang jelas. Sehingga kita tidak terjebak kepada permainan kata-kata tak bermakna.
1. Kebenaran Korespondensi
Penulis meletakkan teori ini di awal diskusi karena teori kebenaran korespondensi merupakan teori awal dari peradaban keilmuan. Yaitu peradaban keilmuan Yunani yang diawali oleh Thales dan kemudian berkembang pesat pada zaman Plato (sekitar 300 tahun sebelum masehi).
Saat itu manusia sedang tertarik untuk mendiskusikan tentang alam semesta. Asal-usul alam semesta menjadi objek yang paling banyak didiskusikan pada saat itu. Kajian metafisik menjadi pembahasan yang paling menonjol. Warga Yunani yang percaya akan adanya dewa-dewa tidak bisa melepaskan diri dari keterkaitan tersebut.
Aristoteles adalah salah satu murid dari Plato. Tetapi ia berbeda dengan gurunya yang idealis, Aristoteles lebih memilih fungsi empiris sebagai pembuktian kebenarannya. Maka, kebenaran adalah yang sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
a. Semua besi jika dipanaskan akan memuai.
Pernyataan ini sesuai dengan kenyataan bahwa semua besi ketika dipanaskan akan memuai atau bertambah ukurannya. Di belahan bumi manapun, besi ketika dipanaskan akan memuai. Maka, pernyataan ini mempunyai nilai kebenaran karena sesuai antara pernyataan dengan kenyataan.
b. Jakarta adalah ibu kota Indonesia.
Pernyataan ini juga mempunyai nilai kebenaran. Karena sesuai fakta bahwa Jakarta adalah ibukota negara Indonesia yang sah dan diakui baik secara de facto maupun de yure. Dengan demikian, maka pernyataan tersebut benar.
c. Air mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah.
Rumus gravitiasi menkonfirmasi pernyataan ini. Dan secara fakta memang demikian. Di manapun, sifat air adalah mencari tempat terendah.
2. Kebenaran Koherensi
Secara urutan keilmuan, koherensi berada sebelum teori korespondensi. Karena teori koherensi adalah kaitannya dengan alam ide. Plato sebagai bapak idealisme tentu tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
Namun secara kajian, teori koherensi berkembang dan populer pada masa Renaissance. Yaitu, masa kebangkitan ilmu pengetahuan Eropa setelah berabad-abad terkungkung oleh supremasi gereja. Maka, untuk mempermudah ingatan penulis meletakkannya setelah korespondensi.
Sifatnya yang subyektif, maka penalaran menjadi kerangka yang wajib untuk diperhatikan. Kebenaran koherensi harus runtut dan tidak bertentangan secara logis antara pernyataan satu dengan pernyataan yang lainnya.
Contoh:
a. Semua ikan bisa berenang
Gurameh adalah ikan
Jadi, Gurameh bisa berenang
Pernyataan-pernyataan di atas bersifat runtut, dan pada kesimpulannya tidak bertentangan dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya.
b. Semua burung bisa terbang
Beo adalah burung
Maka, beo bisa terbang
c. Semua perempuan itu cantik
Ani adalah perempuan
Jadi, Ani itu cantik
Pada contoh ke tiga ini sejenak akan menimbulkan perdebatan bahwa pada alam realitas cantik itu multitafsir. Ya, koherensi bukanlah korespondensi. Indikator kebenarannya ada pada konsistensi dari proposisi-proposisi yang dibangun antara yang satu dengan yang lainnya.
3. Pragmatisme
Teori kebenaran pragmatisme hadir ketika manusia sudah memasuki sejarah panjang peradaban. Sejak era Sokrates sampai Emanuel Kant, manusia berjibaku terhadap kebenaran teoritik.
Tidak sepenuhnya salah, akan tetapi manusia adalah makhluk hidup. Mereka harus bergerak dan berbuat. Apalagi, setelah meletusnya revolusi Perancis di mana setiap orang menginginkan kebebasan sesuai kehendaknya.
Orang-orang ingin bekerja sesuai kemampuannya. Maka, ilmu pengetahuan harus mampu mengakomodir tuntutan zaman.
Ilmu pengetahuan tidak lagi berada pada ranah teoritik, tetapi harus menyentuh ranah praktis. Ilmu pengetahuan akan diakui kebenarannya ketika ia mampu memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Segala sesuatu tidak hanya diterjemahkan secara ontologis, tetapi ia harus sampai kepada prakteknya.
Besi, tidak lagi dibahas mengenai wujud dan bentuknya. Akan tetapi untuk apa besi tersebut? Bagaimana mengolahnya? Besi bisa menjadi apa saja? Ide-ide harus mampu diimplementasikan secara operasional.
Teori ini menjadi sebuah jawaban terhadap perubahan perilaku manusia. Tuntutan kebutuhan hidup manusia yang semakin banyak dan harga-harga yang semakin mahal harus mampu direspon oleh ilmu pengetahuan.
Kebenaran tidak cukup pada tahap koherensi dan korespondensi. Kebenaran harus bernilai praktis.
Contoh:
a. Semua besi jika dipanaskan akan memuai, akan menjadi bernilai benar ketika bisa dimanfaatkan oleh pandai besi, atau oleh industri logam.
b. Air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, mempunyai kebenaran ketika dimanfaatkan untuk membuat bendungan, atau untuk membuat sistem pengairan terasering.
c. Api bersifat panas, diakui kebenarannya ketika digunakan untuk memasak air atau menghangatkan tubuh.
Pragmatisme mempunyai pandangan bahwa kebenaran itu nisbi. Ia relatif—bergantung terhadap keadaan sesuatu. Kebenaran yang dianggap umum pada masa lalu, bisa saja akan dikoreksi di masa yang akan datang.
Dulu, pluto dianggap sebagai salah satu planet dari sistem tata surya. Namun berjalannya waktu seiring dengan kemajuan teknologi, maka Pluto dianggap hanyalah bintang, bukan planet.
Demikian juga teori Charles Darwin yang menyatakan bahwa manusia berasal dari kera. Setelah melalui pengamatan dan penelitian secara ilmiah tidak ditemukan tanda-tanda bahwa nenek moyang manusia adalah kera.
Berdasarkan anggapan teori pragmatisme, bisa saja suatu hari manusia bisa hidup di planet Mars. Sementara ini anggapan bahwa manusia bisa hidup di Planet Mars hanyalah sampai kepada dugaan.
Secara teoritik kebenaran pragmatisme ia baru dianggap kebenaran ketika ada manusia yang benar-benar bisa bertahan hidup di Planet Mars.
Berkaca kepada contoh kasus di atas, kebenaran Pragmatisme hampir mendekati dengan teori kebenaran korespondensi.
Namun, pragmatisme beranggapan bahwa kebenaran tidak hanya sebatas pernyataan yang sesuai kenyataan, akan tetapi ia harus mempunyai nilai guna bagi kehidupan manusia. Memang fakta bahwa bintang-bintang itu tidak bergerak.
Namun, akan diakui kebenarannya oleh teori pragmatisme ketika bintang-bintang tersebut digunakan sebagai penunjuk arah bagi nelayan.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas akan terlihat dengan jelas perbedaan-perbedaan dari teori kebenaran koherensi, korespondensi, dan pragmatisme. Dengan demikian implikasi dan konsekuensinya luas terutama pada cakupan dan kerja-kerja metodologi penelitian dan tentu saja filsafat ilmu sebagai induknya.
Kebenaran teori koherensi diuji dari konsistensi pernyataan-pernyataan itu sendiri. Sedangkan teori korespondensi mengatakan bahwa kebenaran harus sesuai dengan fakta realitas. Teori kebenaran pragmatisme melangkah lebih jauh.
Sebuah kebenaran tidak hanya diukur melalui koherensi dan korespondensi, tetapi ia harus mempunyai nilai manfaat. Jika tidak, maka ide-ide tersebut bukanlah merupakan sebuah kebenaran.
Seiring berkembangnya zaman, didukung oleh kemajuan teknologi kebenaran juga akan berkembang—setidaknya itu yang dikatakan oleh pragmatisme. Pola hidup yang serba instan menjadikan manusia cenderung pragmatis.
Kultur filsafat yang membutuhkan perenungan sedikit demi sedikit akan ditinggalkan. Sebuah ironi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Namun, manusia tidak bisa lari dari kenyataan. Untuk itu, manusia membutuhkan alat penguji kebenaran supaya tidak dipermainkan oleh keadaan realitas.
Daftar Pustaka
Bakhtiar, Amsal. 2012. Filsafat Ilmu, Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suriasumantri, S,Jujun. 2000. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, cet. ke 13..
Susanto, A. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara
Suyanto, Bagong & Sutinah. 2005. Metode Penulisan Sosial. Jakarta: Kharisma Putra Utama.
Wahyudi, Imam.2004. Refleksi Tentang kebenaran Ilmu. Jurnal Filsafat.Jilid 38 Nomor 3.
EmoticonEmoticon