materi pelajaran filsafat, cara blogger menghasilkan uang, seo blog, google adsense, blog gratisan, download ebook gratis, materi pelajaran Filocopy.id: Filsafat
Pengantar Filsafat Bagi Pemula

Pengantar Filsafat Bagi Pemula

 

Pengertian filsafat dan contoh-contohnya
Gambar: pixabay

Filsafat bagi sebagian orang dianggap sebagai studi yang sulit dipahami. Hal itu memang tidak bisa disangkal karena filsafat memang membahas segala sesuatunya secara konseptual dan makro. Bukan yang bersifat spesifik dan teknis.

Namun, filsafat sesungguhnya merupakan unsur yang sangat penting di dalam segala aspek kehidupan manusia. Apalagi, bagi orang yang sedang menempuh pendidikan, filsafat menjadi sebuah kerangka berpikir untuk memahami segala sesuatunya secara utuh.

Kendala yang banyak ditemukan oleh para pelajar atau mahasiswa yang ingin mempelajari filsafat adalah penggunaan bahasa pengantarnya yang sulit dipahami. Maka dari itu, pada kesempatan ini kami ingin memberikan pengantar filsafat dengan penggunaan bahasa yang sesederhana mungkin dan mudah untuk dipahami oleh para pemula.

Pengertian Filsafat

Secara bahasa filsafat terdiri dari dua kata, yaitu philo dan sophia. Philo artinya cinta, sedangkan sophia artinya kebijaksanaan. Jadi, jika diartikan secara definitif maka filsafat adalah cinta kebijaksanaan. 

Banyak orang mengartikan bahwa filsafat merupakan cabang ilmu. Namun, sesungguhnya filsafat adalah dasar berpikir dari sesuatu. Maka, filsafat menjadi landasan dari cabang-cabang ilmu.

Filsafat mempelajari hakikat, tujuan, dan makna kehidupan. Filsafat mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan abstrak tentang masalah seperti kebenaran, keadilan, kebahagiaan, dan realitas. Filsafat juga mencakup berbagai cabang seperti etika, estetika, logika, metafisika, dan epistemologi.

Ruang Lingkup Filsafat

Apa saja yang dibahas di dalam filsafat? Filsafat membahas tentang banyak hal, di antaranya yaitu: epistemologi (pengetahuan), ontologi (keberadaan), logika (pemikiran yang benar), etika (moralitas), estetika (keindahan), politik (pemerintahan), dan metafisika (realitas di balik dunia fisik). 

Filsafat juga membahas konsep-konsep seperti wahyu, kebenaran, keadilan, kebahagiaan, kebebasan, dan kesadaran.

Sekarang kita bahas satu persatu materi yang menjadi bahasan utama pada filsafat.

Pengertian Epistemologi

Apa itu epistemologi? Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang asal-usul, batas, dan validitas pengetahuan. Ini juga mencakup studi tentang kriteria yang digunakan untuk menilai kebenaran dan keabsahan pengetahuan.

Epistemologi biasanya akan banyak dibahas pada studi yang berbasis penelitian dan penilaian. Alat ukur menjadi kajian yang sangat mendasar pada cabang filsafat epistemologi ini.

Pengertian Ontologi

Apa itu ontologi? Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari hakikat realitas dan kebenaran. Ontologi mencoba untuk menjawab pertanyaan tentang apa yang ada, bagaimana hal-hal tersebut berhubungan satu sama lain, dan bagaimana kita dapat mengetahui tentang hal-hal tersebut.

Ontologi merupakan bahasan filsafat yang dianggap paling rumit. Karena filsafat ontologi membahas tidak hanya pada sesuatu yang nampak, akan tetapi juga pada sesuatu yang tidak nampak. Sehingga, terkadang filsafat ontologi terkendala pada kesediaan bahasa yang mudah dipahami oleh manusia.

Pengertian Aksiologi

Apa itu aksiologi? Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari nilai-nilai dan kualitas moral. Ini mencakup studi tentang nilai-nilai yang baik dan buruk, benar dan salah, dan kebaikan dan keburukan.

Aksiologi juga mencakup studi tentang konsep-konsep seperti keadilan, kejujuran, kebajikan, dan kebaikan.

Cabang filsafat aksiologi bisa disederhanakan ke dalam dua bahasan besar, yaitu etika dan estetika.

Sesungguhnya, ketiga bahasan utama filsafat yaitu ontologi, apistemologi, dan aksiologi bukanlah sesuatu yang terpisah. Ke tiga cabang tersebut merupakan satu kesatuan yang harus dibahas ketika kita sedang membahas sesuatu.

Contohnya Meja. Secara ontologi meja itu ada, bisa dilihat oleh mata, bisa disentuh oleh indera manusia. Secara epistemologi meja itu terbuat dari kayu dan berfungsi untuk meletakkan makanan. Sedangkan secara aksiologi meja tersebut bentuknya indah atau tidak, berguna untuk manusia atau tidak, dan sebagainya.

Jadi, ketiga cabang filsafat merupakan hal yang harus dibahas secara holistik ketika diterapkan pada sesuatu. Maka, di dalam cara berpikir filsafat adalah menyeluruh. 

Kesimpulannya filsafat itu membahas tentang apa? Filsafat membahas tentang apa saja selama sesuatu itu bisa dijangkau oleh pikiran manusia.

Filsafat Pendidikan Islam Dari Segi Epistemologi

Filsafat Pendidikan Islam Dari Segi Epistemologi

 

Filsafat Pendidikan Islam Dari Segi Epistemologi

Ilustrasi tempat pendidikan filsafat islam

SALAH SATU KOMPONEN KUNCI UNTUK ORANG YANG BERPENDIDIKAN ADALAH

Ketika mengacu pada topik ini, pertama-tama kita harus memahami bagaimana para pendahulu kita memahami konsep ini.

Menurut kepercayaan tradisional, orang yang berpendidikan adalah orang yang memiliki pemahaman yang tepat tentang teks-teks agama dan mampu mengajar orang lain tentang mereka.

Menurut kaum modernis, orang yang berpendidikan adalah orang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan kelompok usianya dan masyarakatnya.

Selain itu, pendidik sosialis percaya bahwa agama harus intrinsik dan harus memainkan peran penting dalam membentuk perkembangan anak.

Untuk itu, banyak program yang memasukkan ajaran agama ke dalam kurikulumnya untuk mengembangkan karakter dan etika pada siswanya.

Ini kontras dengan pemahaman klasik pendidikan Islam yang menganjurkan pembelajaran nominal hanya sebagai persyaratan untuk jabatan publik seperti hakim dan pemimpin militer.

PENDIDIKAN ISLAM ADALAH PENDIDIKAN YANG DITANAMKAN OLEH PARA ULAMA ISLAM DALAM AKIDAH ISLAM.

Istilah ini mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperoleh seseorang selama dia dididik.

Ini juga mengacu pada sistem pendidikan pra-Islam yang ada di Arab sebelum kedatangan Islam.

Pada masa awal Islam, pendidikan Islam didasarkan pada ajaran Alquran, hadits (tradisi Nabi Muhammad), dan bahasa dan sastra Arab.

Tujuan utama pendidikan Islam adalah mengajarkan kepada umat Islam akhlak, nilai-nilai, budi pekerti, dan tulisan tangan yang baik agar mereka menjadi manusia yang sempurna.

PEMAHAMAN TRADISIONAL LAIN TENTANG PENDIDIKAN ISLAM ADALAH BAHWA IA MENGIKUTI PRINSIP-PRINSIP AL-QIYĀS (TEOLOG), AL-GHAZALIS (FILSUF ARISTOTELIAN), AVICENNAN (AL-KINDI) DAN LOGIKA AVERROISTIK (ARISTOTELIAN).

Perbedaan antara filsafat pendidikan Barat dan filsafat Islam patut diperhatikan di sini.

Filsafat pendidikan Barat berkembang dari Yunani klasik dan Roma melalui zaman Renaisans dan memuncak dengan periode Pencerahan.

Sebaliknya, banyak filosof Islam mengembangkan ide-ide mereka sebelum datangnya Islam.

Misalnya, Aristoteles mendirikan sekolah pertama dalam sejarah; Muhammad mengikuti sekolahnya bersama murid-muridnya.

Di antara para pemikir Muslim awal ini adalah Abu Jafar Mu'ammar ibn-Hashim Al-Ghazali@ yang dikenal sebagai \ bapak spiritual yurisprudensi Sunni [Sunni]\ - Abu Hanifa Al-Khawarizmi - dikenal sebagai \ pendiri MMA\ - Avicenna - dikenal sebagai “Leonardo Da Vinci kedokteran” @ Averroes @ dikenal sebagai “Aristoteles budaya Arab” @ Al-Kindi @ dikenal sebagai “Leonardo Da Vinci astronomi” – Al-Farabi @ dikenal sebagai “Aristoteles budaya Islam” @ Al-Ghazali @ dikenal sebagai “Thomas Aquinas dari yurisprudensi Sunni” @ Al-Farabi @ dikenal sebagai “Aristoteles pemikiran budaya Muslim”@ Abul Kathīr Aḥmad ibn-Muẓaffar Shamiyyah الْجَاهِلُ الْفَاضِعُ الْمُحَافِرُ ائِنَ الْمَوْحُونِ الْمُسْلِمِينَ، الاالد ال الد ا اح الرسول الكريم الجديد‎).


Para pemikir Muslim awal ini memberikan kontribusi besar dalam pembentukan pemikiran Islam@ yang menjadi identik dengan perfeksionisme dalam semua aspek kehidupan.

Mereka juga mendirikan sekolah sekitar tahun 764 M di Nishapur selama apa yang sekarang disebut sebagai Zaman Keemasan Peradaban Islam.


#Tag Artikel

  • filsafat pendidikan islam dari segi ontologi epistemologi dan aksiologi
  • jelaskan filsafat pendidikan islam dari segi ontologi epistemologi dan aksiologi
  • Hukum Kausalitas Perspektif Mulla Shadra

    Hukum Kausalitas Perspektif Mulla Shadra

    Ilustrasi Tuhan dan manusia hukum kausalitas

    Hukum Kausalitas dalam filsafat perspektif Mulla Shadra

    Hakikat Hubungan Sebab dan Akibat Menurut Mulla Shadra 

    Di sini perlu diketahui, “kausalitas”   supaya dibedakan dengan artian “kausalitas” dalam ilmu-ilmu alam atau fisika. Sebagaimana berkali-kali ditunjukkan oleh para filosof, “sebab” di dunia fisik mengacu pada sumber efisien gerak.

    “Sebab” dalam istilah ilmu alam adalah pelaku (agent) dan pemberi gerak, dan bukan penganugerah wujud. Akan tetapi, pelaku dalam istilah metafisika adalah pelaku dan pemberi wujud. 

    Dua istilah teknis itu memang kerap terkacaukan, terutama dalam pelbagai pernyataan para filosof modern. Untuk klarifikasi lebih mendalam atas beberapa bagian diskusi ini, rujuk jilid Ketiga Ushul-e Falsafeh wa Rawisy-e Riyalism (Prinsip-Prinsip dan Metode Filsafat Realisme).

    Dalam kaitan dengan kausalitas, Mulla Shadra menandaskan bahwa hubungan akibat dan sebab merupakan hubungan “penyinaran (illuminative)”, dan bahwa penyebaban  (causation)  itu sendiri tidak lain adalah “penyinaran (illumination)”.  

    Hal yang secara tradisional diakui dalam filsafat mengenai hubungan sebab dan akibat adalah bahwa sebab menghadirkan eksistensi dan wujud pada  akibat sehingga seolah-olah pihak pertama memberi pihak kedua suatu hal yang ketiga: secara berurutan yang pertama adalah sebab; yang kedua adalah akibat; dan yang ketiga adalah eksistensi atau wujud. 

    Gambaran penyebaban ini melukiskan pemberi, penerima,  dan sesuatu yang diberikan maupun diterima (secara terpisah-pisah). Tentu saja, gambaran itu menyamakan hubungan antara pemberi dan penerima (wujud) dengan hubungan (mutual) antara dua hal pada umumnya.

    Perumpamaannya, seorang ayah dan anak adalah dua maujud. Yang pertama merupakan sumber bagi yang kedua, dalam arti bahwa anak berasal dari ayah. Lalu, terjadilah suatu hubungan di antara kedua sebagai hakikat ayah atau anak. 

    Namun, kita tahu bahwa wujud ayah adalah satu hal, wujud anak adalah hal lain, dan hubungan di antara keduanya adalah hal yang lain lagi. Hubungan serupa tergambar pada sebab dan akibat, yang diacu sebagai hubungan kausal: suatu hubungan antara pemberi dan penerima wujud. 

    Hubungan sebab-akibat itu sendiri tidak sama dengan wujud sebab atau  akibat. Hubungan itu semata-mata terjadi antara dua hal, seperti keayahan dan keanakan yang merupakan hubungan antara seorang ayah dan anak.

    Kaum Sufi  meyakini bahwa maujud selain Allah adalah sekutu-Nya, karenanya keyakinan pada sesuatu selain-Nya merupakan syirik dan penyekutuan. Atas dasar itu, kaum Sufi menyangkal kausalitas. Sebaliknya, filosof meyakini bahwa makna “penciptaan” yang termaktub dalam Al-Quran ialah kausasi Dzat Allah, dan bukan tajalli atau penampakan-Nya.

    Lalu, apakah perselisihan ini bersifat terminologis belaka? Jelas tidak. Sebab, dalam konsep tajalli dan penampakan, ada asumsi kesatuan antara Sumber dan objek penampakan; antara pantulan dan Pemantulnya. 

    Dengan demikian, hakikat  tajalli  dan penampakan ialah Dzat yang Tampak itu sendiri, lantaran segi yang menampak bukanlah sesuatu yang berbeda dari Jati Diri si 'Penampak’.

    Salah satu kerja besar Mulla Shadra ialah mendekatkan pemahaman kausalitas dan tajalli dengan membuktikan bahwa akibat dan efek sebenarnya tak lebih dari “satu derajat dari berbagai derajat sebab, satu penampakan dari berbagai penampakannya, dan satu wajah dari berbagai wajahnya”. 

    Dengan demikian, pada hakikatnya Mulla Shadra mengembalikan kausalitas kepada tajalli Sebelum Mulla Shadra, para filosof menduga bahwa antara sebab dan akibat terdapat penghubung (rabith’)  yang menyambungkan keduanya. 

    Jelasnya, menurut rnereka, sebab merupakan entitas yang terpisah dari akibat dan demikian pula sebaliknya. Melalui penghubung keduanya itulah sebab melahirkan akibat dalam rangkaian sebab-akibat. Sebagai contoh, kalau A adalah sebab dan B adalah akibat, maka kausalitas ialah terkaitnya B pada hakikat A lewat sejenis keterhubungan  (intisab atau idhafah). 

    Mulla Shadra menolak asumsi ini dengan membuktikan bahwa hakikat akibat ialah keterhubungan dengan sebab itu sendiri. Akibat dan efek itu tak lain adalah entitas yang menyatu-padu dengan sebab. 

    Akibat bukanlah hasil pencerahan atau iluminasi  (isyraq)  sebab pada suatu entitas sehingga akibat bergantung pada sebabnya melalui iluminasi, melainkan merupakan inti kebergantungan dan iluminasi itu sendiri (karena yang ada di alam wujud hanyalah wujud sebab, tak lain dan tak bukan).

    Perwujudan adalah hakikat Pewujud, sedangkan kebergantungan ialah hakikat objek yang bergantung. Alhasil, Mulla Shadra berhasil membuktikan bahwa realitas sebab-akibat sama dengan tajalli

    Kaum Sufi menolak gagasan kausalitas para filosof terdahulu lantaran yang belakangan meyakini bahwa Dzat Allah adalah Sebab bagi segala sesuatu, sehingga Dzat Allah sendiri  adalah satu hal, sedangkan penyebaban (kausasi) dan penciptaan adalah hal lain, dan demikian juga sosok akibat atau objek ciptaan adalah hal ketiga yang lain lagi. Hasilnya, alam wujud menampung tiga hal yang berbeda.

    Menurut Mulla Shadra, tindak mencipta  (khalq)  dan ciptaannya  (makhluk)  adalah sesuatu yang identik. Maka dari itu, penciptaan dan ciptaan tidak lebih dari salah satu nuansa Sebab dan bukan hal yang terpisah darinya. Perbedaan antara tindak penyebaban dan akibat atau penciptaan dan ciptaan semata-mata bersifat mental dan rekaan belaka.

    Di samping itu, kendati terdapat keberagaman hakiki  (katsrah)  antara sebab dan akibat, keberagaman itu sendiri mengacu pada satu sisi (atau nuansa) kesatuan antara keduanya. Karena, akibat bukanlah sesuatu selain sebabnya. 

    Bahkan, akibat tak lain dari nuansa dan berkedudukan sebagai nama dan sifat dari sebabnya. Jelasnya, sebagaimana sifat merupakan satu segi dari penyandangnya, demikian pula akibat merupakan satu segi dari sebabnya. 

    Oleh sebab itu, bila kita mencermati hakekat wujud segala sesuatu, mustahil kita bisa memisahkannya dari Dzat Penyandangnya, yakni Allah. Namun, karena kita senantiasa mencerap segenap rnaujud rnelalui esensi-esensinya yang beragam, kita melihat alam wujud secara beragam dan bukan manunggal. 

    Dalam konteks ini, Mulla Shadra telah berhasil mendamaikan cara-pandang para filosof dan para Sufi dengan membuktikan bahwa kausalitas tak lain adalah  tajalli dan  tajalli  tak terjadi kecuali dalam kerangka hukum kausalitas.



    Sumber gambar: pexels.com

    Pemikiran Metafiska  Al Farabi

    Pemikiran Metafiska Al Farabi

    Ilustrasi Pemikiran Metafisika Al Farobi

    Pemikiran Metafiska  Al Farabi 

    Sekilas Tentang Al Farabi

    Al Farabi adalah penerus tradisi  intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi,  kreativitas,  kebebasan  berpikir dan tingkat  sofistikasi  yang lebih tinggi  lagi.  Jika  al-Kindi dipandang sebagai seorang filosof  Muslim dalam arti kata yang sebenarnya,  Al Farabi  disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu  terus dibangun dengan  tekun.  

    Ia  terkenal  dengan sebutan Guru Kedua dan otoritas  terbesar setelah Aristoteles. Ia  terkenal karena telah  mengenalkan  doktrin  “Harmonisasi pendapat  Plato dan Aristoteles”. Ia mempunyai kapasitas ilmu logika  yang memadai.  Dikalangan pemikir Latin  ia  dikenal sebagai Abu Nashr atau Abunaser

    Riwayat Hidup Al Farabi

    Ia adalah Abu Nasr Muhammad Al Farabi lahir di Wasij, suatu desa di  Farab (Transoxania) pada tahun 870 M.  Al Farabi dalam sumber-sumber  Islam lebih  akrab dikenal sebagai Abu Nasr. 

    Ia berasal dari keturunan Persia. Ayahnya Muhammad Auzlagh adalah seorang  Panglima Perang Persia yang kemudiaan menetap di Damsyik. Ibunya berasal dari Turki. Oleh karena itu ia biasa disebut orang Persia atau orang Turki.

    Sebagai pembangun sistem filsafat, ia telah membaktikan diri untuk berkontemplasi, menjauhkan diri dari dunia politik walaupun menulis karya-karya politik yang monumental. Ia  meninggalkan risalah penting. 

    Filsafatnya menjadi acuan pemikiran  ilmiah bagi dunia Barat  dan Timur. Lama sepeninggalnya Al Farabi hidup di tengah kegoncangan masyarakat dan politik Islam. 

    Pemerintah pusat Bani Abbasiyah di Baghdad sedang berada di dalam kekacauan di bawah pimpinan khalifah-khalifah  Radli, Muttaqi, Mustakfi. Saat itu bermunculan  negara-negara di daerah yang  mengambil alih kekuasaan. 

    Al Farabi dengan cemas hati melihat perpecahan khalifah dan kemunduran  masyarakat Islam. Sebagaimana  sudah disinggung diatas, ia tidak aktif dalam bidang politik, tetapi memberikan kontribusi pemikiran dengan menulis buku politik untuk memperbarui tata negara. Pembaruan itu menurutnya hanya dapat berhasil bila berakar kokoh dalam fondasi filsafat. 

    Walaupun Al Farabi merupakan ahli metafiska Islam  yang pertama terkemuka namun ia lebih terkenal di kalangan kaum Muslimin sebagai penulis karya-karya filsafat politik. 

    Para ahli sepakat memberikan pujian yang tinggi kepadanya, terutama sebagai ahli logika yang masyhur  dan juru bicara Plato dan Aristoteles pada masanya. Ia  belajar  logika ke adaa Yuhanna  ibn Hailan di  Baghdad.  Ia  memperbaiki  studi logika,  meluaskan dan melengkapi aspek-aspek rumit yang telah ditinggalkan al-Kindi.

    Kehidupan Al Farabi dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama bermula dari sejak lahir sampai usia lima tahun. Pendidikan dasarnya ialah keagamaan dan bahasa; ia mempelajari fikh, hadis, dan tafsir al Qur’an. Ia juga mempalajari bahasa Arab, Turki dan Persia.

    Periode  kedua adalah periode usia tua  dan kematangan intelektual. Baghdad merupakan tempat belajar yang terkemuka pada abad ke 10 M. Di sana ia bertemu dengan sarjana dari berbagai bidang, diantaranya para filosof dan penerjemah. 

    Ia tertarik untuk mempelajari logika, dan diantara ahli logika paling terkemuka adalah Abu  Bisyr Matta ibn  Yunus. Untuk beberapa  lama ia  belajar dengannya. Baghdad merupakan kota yang  pertama kali dikunjunginya. 

    Di sini ia berada selama dua puluh tahun, kemudian pindah ke Damaskus. Di sini ia berkenalan dengan Gubernur Aleppo, Saifuddaulah al-Hamdani. Gubernur ini sangat terkesan dengan Al Farabi, lalu diajaknya pindah ke Aleppo dan kemudian mengangkat Al Farabi sebagai ulama istana.

    Kota  kesayangannya adalah Damaskus. Ia  menghabiskan umurnya bukan di tengah-tengah kota, akan tetapi di sebuah kebun yang terletak di pinggir kota. 

    Di tempat inilah ia kebanyakan  mendapat ilham menulis buku-buku filsafat. Begitu  mendalam penyelidikanya tentang filsafat  Yunani terutama mengenai filsafat Plato dan Aristoteles, sehingga ia digelari julukan  Mu’alim  Tsani  (Guru Kedua), karena Guru Pertama diberikan kepada Aristoteles, disebabkan usaha Aristoteles meletakkan dasar ilmu logika yang pertama dalam sejarah dunia.

    Al Farabi menunjukkan kehidupan  spiritual dalam usianya yang masih sangat muda dan mempraktekkan kehidupan sufi. Ia juga ahli musik terbesar dalam sejarah Islam dan komponis beberapa irama musik,yang masih dapat didengarkan dalam perbendaharaan lagu sufi musik India. Maulawiyah dari  Anatolia masih terus memainkan komposisinya sampai sekarang. 

    Al Farabi telah mengarang  ilmu musik dalam lima  bagian. Buku-buku ini masih berupa naskah dalam bahasa Arab, akan tetapi sebagiannya sudah diterbitkan dalam bahasa Perancis oleh D’Erlenger. 

    Teorinya tentang harmoni  belum  dipelajari secara mendalam. Pengetahuan estetika  Al Farabi bergandengan dengan kemampuan logikanya. Ia meninggal pada tahun 950 M dalam usia 80 tahun.

    Karya Karya Al Farabi

    Ia meninggalkan sejumlah besar tulisan  penting. Karya Al Farabi dapat dibagi menjadi dua, satu diantaranya mengenai logika dan mengenai  subyek lain. Tentang logika Al Farabi mengatakan bahwa filsafat dalam arti penggunaan akal pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu daripada keberadaan agama , baik ditinjau dari  sudut waktu  (temporal)  maupun  dari  sudut logika. 

    Dikatakan “lebih dahulu” dari sudut pandang waktu, karena Al Farabi berkeyakinan  bahwa masa permulaan filsafat, dalam arti penggunaan akal secara luas bermula sejak zaman  Mesir Kuno dan  Babilonia, jauh sebelum Nabi  Ibrahim dan Musa.  Dikatakan lebih  dahulu secara  logika karena semua kebenaran dari agama harus dipahami dan dinyatakan, pada mulanya lewat cara-cara yang rasional, sebelum kebenaran itu diambil oleh para Nabi 

    Karya  Al Farabi tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari karya Aristoteles, baik dalam bentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah; dan sebagain besar naskah-naskah ini belum ditemukan. 

    Sedang karya dalam kelompok kedua menyangkut berbagai cabang  pengetahuan filsafat, fisika, matematika dan politik. Kebanyakan pemikiran yang dikembangkan oleh Al Farabi sangat berafiliasi dengan sistem pemikiran Hellenik berdasarkan Plato dan Aristoteles.

    Diantara judul karya Al Farabi yang terkenal adalah :

    1.  Maqalah fi Aghradhi ma Ba’da al-Thabi’ah

    2.  Ihsha’al-Ulum

    3.  Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah

    4.  Kitab Tahshil al-Sa’adah

    5.  ‘U’yun al-Masa’il

    6.  Risalah fi al-Aql

    7.  Kitab al-Jami’bain Ra’y al-Hakimain : al-Aflatun wa Aristhu

    8.  Risalah fi Masail Mutafariqah

    9.  Al-Ta’liqat

    10. Risalah fi Itsbat al-Mufaraqat 

    Pemikiran Al Farabi Tentang  Metafisika

    Menyibukkan diri di bidang filsafat bukanlah suatu kegiatan yang hanya  dilakukan  oleh segelintir orang saja,  melainkan merupakan salah satu ciri  kemanusiaan kita.  Berfilsafat  merupakan salah satu kemungkinan yang terbuka bagi setiap orang. 

    Seketika ia mampu menerobos lingkaran kebiasaan sehari-hari. Salah satu cabang filsafat adalah metafisika. Kebutuhan  manusia akan metafisika merupakan dorongan yang muncul dari hidup manusia yang mempertanyakan hakikat kenyataan.

    Manusia adalah produk  masyarakat tertentu. Ia  adalah anak zamannya. Manusia tidak membentuk diri sendiri. Opini-opini pribadi dibentuk oleh masyarakat tempat tinggalnya. Setiap pemikiran selalu mewakili zamannya dan hasil dialektika dengan sejarahnya. 

    Hasilnya terkadang spekulatif  dan terkadang pula hasil pengembangan pemikiran yang sudah ada. Diskusi tentang metafisika ini  sudah dimulai dari masa Yunani Kuno yang mempersoalkan tentang  being atau “yang ada”. 

    Heraklitos dikritik oleh Parmanides, Plato dikritik oleh Aristoteles (Guru Pertama). Heraklitos berteori bahwa hakikat kenyataan  adalah perubahan.  Teori  ini  ditentang oleh  Parmanides yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan adalah yang tetap. 

    Plato berusaha mengkompromikan wacana ini dengan cara mengakomodir keduanya. Baginya hakikat kenyataan adalah dua yaitu yang tetap (alam ide)  dan yang berubah (alam nyata). Plato sendiri berpihak kepada alam  yang tetap yaitu alam ide sebagai hakikat sesungguhnya kenyataan. 

    Sedangkan alam yang berubah yaitu alam nyata hanyalah bayangan saja. Aristoteles murid Plato juga mencoba memecahkan masalah ini. Ia mengikuti pembagian kenyataan ini kepada dua yaitu yang tetap (form )  dan  yang berubah (matter). 

    Aristoteles berbeda dengan Plato, berpihak pada yang berubah. Dalam penyusunan logika yang terbagi kepada dua belas kategori pada hakikatnya ia membagi kepada dua yaitu esensi dan aksidensi. Al Farabi seperti  Aristoteles membedakan antara materi  dan bentuk.

    Materi merupakan  kemungkinan,  sedangkan bentuk  yang menentukan kemungkinan itu. Sebagai contoh ia mengatakan bahwa kayu sebagai materi mengandung banyak kemungkinan menjadi kursi, lemari dan sebagainya. Kemungkinan itu baru lah terlaksana menjadi suatu kenyataan kalau diberi bentuk. Misalnya bentuk kursi, lemari, meja dan sebagainya.

    Ajaran Aristoteles tentang  materi bentuk, berangkat dari ajaran tentang gerak. Gerak menurut  Aristoteles  ada dua macam,  gerak karena perbuatan  (aksi) seperti batu yang dilemparkan orang, dan gerak spontan menurut  kodrat,  seperti  batu yang jatuh  ke  bawah. 

    Pengertian gerak (Yunani –kinesis, Latin  motus, Inggris  motion) bagi Aristoteles tidak sebagaimana pengertian modern ; perubahan lokal, seperti bergeraknya mobil dari suatu tempat ke tempat yang lain. Bagi Aristoteles, gerak juga berarti  perubahan,  dan perubahan  dapat dibedakan kedalam empat macam ; perubahan/gerak substansial, gerak  kuantitatif, gerak kualitatif, dan gerak lokal.

    Gerak susbstansial adalah perubahan  dari  suatu substansi menjadi  substansi lain, misalnya jika seekor anjing mati kemudian berubah  menjadi  bangkai, maka ia  telah mengalami perubahan substansial. Atau mungkin juga bisa dikatakan kayu yang dibakar kemudian berubah menjadi abu.

    Gerak kuantitatif, yaitu perubahan yang terjadi pada kuantitasnya seperti dari satu menjadi dua, tiga dan seterusnya, atau dari kecil menjadi besar, seperti pohon kecil menjadi besar. Gerak  kualitatif,  jika kertas putih berubah  warnanya menjadi kuning, atau bunga yang berwarna merah jingga kemudian esok harinya berubah menjadi layu, maka perubahan itulah  yang disebut  perubahan  kualitatif.

    Gerak lokal,  yaitu perpindahan dari suatu tempat  ketempat lain, misalnya pagi hari malas berada di kamar kemudian siang hari berada di ruang tamu.

    Kemudian  Aristoteles menyusun logika yang merupakan hukum-hukum berpikir secara silogistis. Walaupun Aristoteles sudah merekomendasikan ke alam nyata namun dengan silogistis ini maka dialektika antara kenyataan dengan akal menjadi penting dan akal lebih merupakan penentu. 

    Setelah Plato dan Aristoteles tidak ada pemikir genial yang muncul. Baru lima abad kemudian muncul Plotinus. Plotinus menerangkan kemunculan alam dengan adanya hirarcy of being.

    Metafisika, menurut Al Farabi dapat dibagi menjadi tiga bagian utama :

    Bagian  yang berkenaan  dengan eksistensi wujud-wujud, yaitu ontologi.

    Bagian yang berkenaan dengan substansi-substansi material, sifat  dan bilangannya, serta derajat keunggulannya, yang pada akhirnya memuncak dalam studi tentang    “ suatu wujud sempurna yang  tidak  lebih besar dari pada yang dapat dibayangkan”, yang merupakan  prinsip terakhir dari segala sesuatu yang lainnya mengambil sebagai   sumber wujudnya, yaitu teologi.

    Bagian yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama demonstrasi yang mendasari ilmu-ilmu khusus.

    Ilmu filosofis tertinggi adalah metafisika (al-ilm al-ilahi) karena materi subyeknya berupa wujud nonfisik mutlak yang menduduki peringkat tertinggi dalam hierarki wujud. Dalam terminologi religius, wujud non fisik  mengacu kepada Tuhan  dan malaikat. Dalam terminologi filosofis, wujud ini merujuk pada Sebab Pertama, sebab kedua, dan intelek aktif.

    Dalam kajian  metafisika salah satu tujuannya adalah untuk menegakkan  tauhid secara benar. Karena tauhid merupakan dasar dari ajaran  Islam. Segala yang ada selain Allah adalah makhluk, diciptakan (hadis). Tetapi bagaimana yang banyak keluar dari yang Ahad memunculkan diskusi yang mendalam.

    Masuknya filsafat  Yunani ke  dunia Islam tentu saja  menimbulkan berbagai persoalan, karena para apparatus ilmu/ ulama merespons dengan ilmu mereka  masing masing.

    Filsafat dan ilmu Menurut Al Farabi

    Pengetahuan  timbul sebagai  produk  pemikiran manusia.  Akal yang dianugerahakan Tuhan kepada manusia itulah yang menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam kebudayaan Yunani dan Persia akal mempunyai kedudukan penting. 

    Sementara di dalam  Islam akal juga mempunyai kedudukan yang tinggi.  Akal mempunyai kedudukan yang tinggi didalam al-Quran dan Hadis. Ayat yang pertama turun memerintahkan umat untuk membaca yang berarti berpikir. 

    Para ulama Islam zaman klasik menyadari hal itu dan dengan demikian menghargai akal yang kedudukannya tinggi itu. Mereka tidak segan-segan mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani yang mereka jumpai  di daerah-daerah Bizantium dan Persia yang jatuh kebawah kekuasaan Islam. 

    Seperti yang sudah disinggung didepan, ini sejalan dengan kedudukan tinggi dari akal yang terdapat dalam peradaban Yunani yang dibawa Alexander Yang Agung ke Timur Tengah pada abad ke-IV SM. Karena itu ada  mindset  yang sama. Persepsi yang sama ini bertemu dan mempermudah usaha pemaduannya.

    Karena ada platform atau mind set yang sama maka umat Islam pada  masa Islam klasik tanpa beban mencoba untuk mengambil filsafat dan ilmu pengetahuan dari Yunani itu.  Karena khazanah Yunani itu  dalam  bahasa Yunani  maka  dilaksanakan program penerjemahan kedalam bahasa Arab. 

    Pada mulanya buku-buku itu diterjemahkan kedalam bahasa Siriac, bahasa ilmu pengetahuan di Mesopotamia pada saat itu. Kemudian kedalam bahasa Arab dan akhirnya penerjemahan langsung ke dalam bahasa Arab.

    Pandangan luas dari ulama zaman itu membuat para filosof Islam seperti al-Kindi, Al Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawaih, Ibn Tufail dan Ibn Rusyd dapat menerima filsafat Pytagoras, Plato, Aristoteles,dan lain lain, walaupun sesungguhnya menurut Harun filosof-filosof Yunani itu bukan orang yang beragama, seperti yang dikenal dalam Abrahamic  Religion

    Filsafat mereka dengan mudah dapat disesuaikan oleh filosof-filosof Islam itu dengan ajaran dasar dalam al-Quran. Idea Tertinggi Plato, Penggerak Pertama Aristoteles, dan Yang Maha Satu Plotinus  mereka identikkan  dengan Allah SWT. 

    Bahkan Al Farabi berpendapat bahwa Plotinus dan Aristoteles termasuk dalam jumlah nabi-nabi  yang tidak disebutkan  namanya dalam al-Quran. Oleh karena itu ia berusaha untuk mendamaikan filsafat Aristoteles dengan gurunya Plato.



    Sumber gambar: pixabay.com

    Menjadi Ateis Karena Filsafat

    Menjadi Ateis Karena Filsafat

    Ilustrasi nisan orang kristen

    Menjadi Ateis Karena Filsafat

    Filsafat beranjak dari sebuah ketidakpuasan terhadap mitos. Mitos tidak bisa dianggap sebagai sebuah kebenaran dikarenakan sulit di dalam pembuktiannya. Kebenaran harus bisa dinikmati banyak orang, dan ia bisa dibuktikan oleh seseorang yang lain.

    Demikian juga agama yang dogmatis yang bersandar kepada keyakinan. Memaksa pengikutnya untuk patuh tanpa bisa mengkritisi agama tersebut.

    Kembali kepada persoalan besar yang hingga saat ini belum ada penyelesainnya, yaitu agama versus ilmiah. Agama menyandarkan kebenarannya melalui dogma-dogma yang harus diyakini kebenarannya supaya dianggap sebagai umatnya yang beriman. 

    Ilmu pengetahuan menyandarkan kebenarannya kepada bukti-bukti ilmiah yang bisa diuji oleh siapapun melalui metodologi yang sudah disepakati. Sehingga, seorang ilmuan atau filsuf mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan umum dari manusia. 

    Bahkan, nyatanya ilmuan lebih berjasa untuk membantu kehidupan manusia dari pada agama. Ilmu pengetahuan mampu menjawab kebutuhan manusia yang semakin berkembang. Sementara agama sudah berhenti tidak mampu mengikuti perubahan jaman.

    Kita bisa melihat bagaimana dinamika perselisihan antar pemuka agama yang nyatanya justru saling mempertajam perselisihan. Tafsir agama yang ‘eksklusif’ yang hanya boleh dilakukan oleh orang-orang tertentu membuat agama semakin asing. 

    Sementara itu pola kehidupan manusia sudah jauh berkembang dan kebutuhan hidup yang semakin beragam. Agama hanya berputar pada masalah definitif dan tidak aplikatif.

    Kita bisa menyaksikan sendiri bagaimana pemuka agama cenderung tertutup untuk menerima pertanyaan-pertanyaan. Kajian-kajian agama yang sudah terjadi ribuan tahun tetap menjadi sebuah pembahasan yang tidak pernah selesai. 

    Jarang sekali ketika forum kajian agama ada waktu tanya jawab dari para audience. Ini sekaligus membuktikan bahwa para pemuka cenderung defensif terhadap pemahamannya sendiri. Pada akhirnya, agama hanyalah sebuah tradisi.

    Agama dianut oleh seseorang yang sudah dilahirkan dari orangtua yang beragama. Agama dianut tidak dari sebuah pemikiran dan rasa keingintahuan terhadap sesuatu. Mereka yang menyangsikan segala sesuatu akan cenderung menjadi ateis ketika agama tidak mampu menjawab keragu-raguannya.

    Filsafat Sebagai Metodologi

    Secara garis besar, filsafat adalah metodologi. Ia hanyalah alat untuk berpikir, bukan sebuah aliran apalagi agama. Ateis atau religius bukan disebabkan karena filsafat, akan tetapi dikarenakan lingkungannya. 

    Memang, filsafat bersifat skeptis, menyangsikan segala sesuatu. Akan tetapi, filsafat tidak pernah menyuruh untuk memilih tindakan tertentu, menjadi ateis atau teis.

    Secara definitif, filsafat artinya adalah cinta pada kebijaksanaan. Bijaksana itu sebuah tindakan di luar benar atau salah. Pertimbangan dari kebijaksanaan adalah kebaikan. 

    Tidak harus seratus persen benar, akan tetapi lebih menekankan kepada dampak yang akan ditimbulkan dari sebuah pengambilan perbuatan.

    Filsafat mengedepankan tentang bagaimana memandang sesuatu secara skeptis, tidak sepenuhnya percaya terhadap sebuah fenomena atau dogma. 

    Berfilsafat artinya berpikir secara radikal terhadap segala sesuatu. Memang benar, tingkat pengetahuan dan pengalaman sangat berpengaruh terhadap pengambilan sebuah kesimpulan. 

    Selain itu, lingkungan juga sedikit banyak memberikan dampak terhadap pola pemikiran seseorang. Oleh karena itu, seseorang harus tahu persis keadaan dirinya dan juga keadaan sesuatu yang sedang ia pikirkan.

    Yunani sebagai sebuah negara yang percaya akan dewa-dewa, maka filsafat yang berkembang saat itu mula-mula adalah tentang kejadian alam semesta. 

    Mereka berlomba-lomba mencari asal-usul kehidupan dengan penjelasan yang realistis dan bisa dijangkau oleh semua orang.

    Adanya serangan dari luar Yunani membuat filsafat kemudian berkembang membincang persoalan ketata-negaraan. Bagaimana membangun sebuah negara yang baik yang bisa mewujudkan kesejahteraan. Sehingga kemudian dikenal dengan demokrasi, atau negara utopis-nya Plato.

    Di timur tengah, filsafat banyak membahas tentang hakekat ketuhanan karena latar belakang mereka saat itu sedang gencar-gencarnya membangun peradaban agama Islam. Sehingga yang terjadi, perdebatan atau diskusi filsafat yang mengemuka saat itu terkait bagaimana mendefinisikan Tuhan dan makhluk ciptaan-Nya.

    Awal Mula Ateis

    Ateis berkembang ketika eropa mengalami jaman renaissance atau yang disebut sebagai abad pencerahan. Sebelumnya, keilmuan di eropa benar-benar lumpuh setelah gereja mendominasi. 

    Ilmu pengetahuan yang beredar harus sesuai dengan maksud gereja. Siapa saja yang berpotensi melawan gereja, maka akan dihukum, bahkan tidak jarang akan digantung. Salah satu yang fenomenal adalah kasusnya Galileo Galilei yang menyatakan bahwa bumi mengelilingi matahari. 

    Pada saat itu gereja menganggap bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi. Karena perbedaan ini, maka Galileo Galilei dihukum mati. 

    Ketika sudah banyak orang eropa yang membincangkan filsafat, terjadi diskusi di beberapa titik di eropa. Orang-orang mulai berani mengkritik gereja. 

    Pada titik inilah ada semacam kejenuhan hidup di dalam kungkungan dogmatis gereja. Mereka mulai menganggap bahwa gereja bukanlah sesuatu yang suci yang tidak bisa dilawan. 

    Ketidak-nyamanan terhadap sebuah dominasi merembet kepada kerajaan. Kerajaan dianggap sebagai pihak yang juga menjadi halangan bagi berkembangnya demokrasi di Eropa. 

    Puncaknya adalah terjadinya Revolusi Perancis, yang mana saat itu keluarga kerajaan berakhir di tiang Gelotin. Keluarga kerajaan yang mula-mula dianggap sebagai perwakilan Tuhan di muka bumi benar-benar telah kehilangan kewibawaannya.

    Segala macam kejenuhan ini membawa para intelektualis eropa untuk percaya hanya kepada dirinya sendiri. Sehingga tidak jarang mereka mendakwakan dirinya atau dianggap sebagai orang yang ateis, tidak percaya adanya Tuhan.

    Kita bisa menyaksikan bahwa lingkungan sangat berpengaruh terhadap pemikiran seseorang. Filsafat juga tidak bisa melepaskan dirinya dari sebuah fenomena yang terjadi, karena memang fungsi filsafat adalah untuk menerjemahkan sebuah fenomena dan kemudian membuat sebuah respon terhadap fenomena-fenomena tersebut.

    Keputusan untuk menjadi ateis atau tidak sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan filsafat. Ateis atau religius bergantung sepenuhnya terhadap pergolakan bathin seseorang di dalam membaca sebuah fenomena. 

    Agama bersandar kepada sebuah kepercayaan. Memang, kepercayaan dibangun berdasarkan dogma. Akan tetapi, secara hakekat kepercayaan beranjak dari diri seseorang tersebut. Agama secara hakekat hanyalah menuntun kepada jalan tertentu. 

    Jika seseorang berjalan pada jalan itu, kemudian menemukan maksud yang dituju, maka ia bisa memperayai. Akan tetapi, jika seseorang tidak menemukan apa yang dimaksud, maka bisa saja menjadi ateis. Bahkan, tidak jarang orang yang sudah meyakini suatu jalan kemudian berhenti di tengahnya atau yang bisa disebut murtad.

    Segala kemungkinan tersebut kembali lagi kepada kemampuan individu untuk mengambil keputusan. Filsafat menuntun seseorang untuk bijaksana. 

    Jika seseorang percaya dan yakin berdasarkan pengetahuan dan pengalaman dan pengetahuannya bahwa tidak ada Tuhan, maka keputusan itu harus dihormati. 

    Demikian juga jika sebaliknya jika seseorang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya kemudian memutuskan untuk menjadi religius. Persoalan terbesarnya adalah ketika masing-masing kubu mengecam dan membenci satu sama lain. Karena tindakan tersebut sudah jauh melenceng dari jalan filsafat, yaitu kebijaksanaan.

    Seorang filsuf harus melepaskan dirinya dari sikap suka dan tidak suka. Ia harus rasional dan ‘wisdom oriented’. Pada titik tertentu ia harus berada jauh di atas kemanusiaan. 

    Namun, pada keadaan tertentu juga ia harus benar-benar menjadi manusia seutuhnya. Sehingga, pernyataan dan keputusan yang diambil benar-benar untuk mewujudkan kebaikan bagi manusia dan alam semesta.


    Sumber gambar: pixabay.com
    Ciptaan Tuhan Yang Paling Berat

    Ciptaan Tuhan Yang Paling Berat

    Ciptaan Tuhan Yang Paling Berat


    Ciptaan Tuhan Yang Paling Berat

    Tahukah kamu apa ciptaan Tuhan yang paling berat diantara ciptaan-ciptaan-Nya yang lain? Jawabannya akal.

    Akal merupakan anugerah luar biasa yang dikhususkan bagi manusia. Dengan akal, manusia bisa membedakan dirinya dari hewan dan tumbuhan. Manusia mampu mengelola ciptaan Tuhan yang lainnya, seperti hewan, tumbuhan, dan alam semesta.

    Kenapa Tuhan menganggap akal sebagai ciptaan-Nya yang paling berat? Karena selain untuk mengelola makhluk ciptaan-Nya yang lain, akal juga berpotensi untuk melawan penciptanya yaitu Tuhan itu sendiri.

    Akal bukanlah organ yang berada di kepala. Akal di sini adalah secara jiwa. Seperti kata Imam Ghozali, akal yang dimaksud adalah akal yang tidak nampak.

    Ia jauh berada di dalam jiwa manusia. Secara fisik bisa dikatakan bahwa otak merupakan hardware dari akal. Sedangkan akal adalah software-nya.

    Akal memang ciptaan yang luar biasa. Tahukah kamu bahwa menurut penelitian, akal sadar manusia hanyalah lima persen dari keseluruhan kemampuan akal. Jadi bisa dibayangkan ketika kamu bisa mengaktifkan secara sadar kemampuan akal tersebut. 

    Seperti yang terjadi pada film fiksi ilmiah yang berjudul Lucy. Ia mampu mengaktifkan seratus persen akalnya. Dan apa yang terjadi? Ia telah menyatu ke dalam semesta raya. Tubuh manusianya tidak mampu untuk menampung kekuatan dan pengetahuan yang sudah berada di luar jangkauan manusia.

    Seperti makhluk hidup yang lain, akal juga membutuhkan nutrisi untuk hidup. Secara hardware akal membutuhkan asupan makanan yang sehat. Secara software akal membutuhkan bahan pengetahuan untuk berkembang. 

    Jika dianggurkan, maka ia akan layu. Membaca merupakan kegiatan untuk memberi asupan nutrisi bagi akal. Membaca teks tulisan mampu membangkitkan imajinasi akal. 

    Dan ini sangat berguna bagi perkembangan pengetahuan. Berbeda ketika seseorang menyaksikan video, atau di jaman modern seperti sekarang sibuk membaca di sosial media. Akal tidak bisa berkembang dengan baik.

    Di dunia sosial media, seseorang dihadapkan pada beragam tingkat pengetahuan yang saling bertemu dan beradu. Akal akan secara reflek mengikuti perilaku seseorang tersebut. 

    Ketika kamu membaca sebuah berita, kemudian di sana disajikan beragam komentar. Secara manusiawi, kamu akan dibawa kepada keadaan like and dislike, suka dan tidak suka. 

    Keadaan ini tidak bisa dikontrol. Ia berada di akal bawah sadar. Ketika kamu larut ke dalam percakapan tersebut, secara tidak sadar akal sadarmu telah dieliminasi oleh akal bawah sadar. Sehingga yang terjadi, kamu akan mengedepankan perasaan dari pada akal sehat.

    Tingkat pengetahuan berperan penting untuk mengendalikan alam bawah sadar. Setidaknya, seseorang bisa mendikte akal sadarnya sendiri terhadap fenomena yang ia hadapi. Sehingga, ia tidak terjebak di dalam arus like and dislike yang jelas-jelas membawa manusia ke dalam jurang kehancuran.

    Menurut Imam Ghozali, untuk mencapai kebenaran sejati harus mampu lepas dari semua unsur referensi, atau taqlid, bahasa Jawanya ‘jarene’ (katanya). Mustahil seseorang bisa mengetahui secara pasti tentang rasa pedas tanpa ia sendiri telah merasakan pedasnya cabai. 

    Di dalam konsep Tuhan, Tuhan akan memberi petunjuk kepada manusia setelah manusia itu mempraktekkan pengetahuannya.

    Logikanya sederhana. Kamu tidak akan pernah bisa naik sepeda tanpa praktek secara langsung. Jatuh bangun kemudian luka-luka dan sebagainya. 

    Walaupun seumur hidup belajar teori atau menonton video tentang bagaimana cara naik sepeda, tanpa praktek langsung hanyalah omong kosong, tindakan yang sia-sia. Demikian juga untuk mencapai kebenaran, seseorang harus terjun secara langsung.

    Dengan keadaan demikian bisa dipahami bahwa keadaan like and dislike benar-benar membawa seseorang menjauhi akal sehatnya sendiri. 

    Dan yang terjadi bukan kebenaran yang didapatkan, akan tetapi kemarahan, kebencian, dan pertengkaran. Akal sehat akan dikalahkan oleh nafsu yang ia sendiri tidak bisa kendalikan. 

    Mungkin itu juga sebagai alasan Tuhan yang mengatakan bahwa akal adalah ciptaan-Nya yang paling berat. Berat bagi manusia untuk mengendalikannya, berat juga bagi Tuhan untuk mengintervensinya.

     

    Sumber gambar: pixabay.com

     

    Kedudukan Filsafat Ilmu dan Agama

    Kedudukan Filsafat Ilmu dan Agama

    Kedudukan filsafat ilmu dan agama


    Kedudukan filsafat ilmu dan agama menjadi perbincangan yang tiada ujungnya.

    Sejarah kehidupan manusia tidak terlepas dari yang namanya perkembangan. Peradaban awal yang orang eropa katakan sebagai animisme-dinamisme berkembang pada kelompok-kelompok atau suku-suku. 

    Kepercayaan terhadap benda-benda dan roh leluhur ini dianggap sebagai jawaban-jawaban dari kegelisahan-kegelisahan manusia saat itu. Mereka percaya bahwa ada suatu kekuatan besar yang sedang mengawasi mereka. 

    Kekuatan besar yang bisa menggerakkan bumi, meletuskan gunung, menggerakkan tsunami, dan menurunkan hujan. Akan tetapi mereka tidak tahu siapa yang ada di balik semua itu. Maka, mereka melimpahkannya pada benda-benda yang lebih besar dari dirinya ada di sekitar mereka. 

    Batu, gunung, laut, dan benda-benda yang lainnya. Mereka membuat ritual-ritual sebagai wujud penyembahan supaya dilindungi dari marabahaya yang didatangkan oleh benda-benda tersebut.

    Beranjak satu langkah manusia sudah mampu menamai tokoh-tokoh yan terlibat di dalam proses fenomena alam, yaitu dewa-dewa. Setiap kelompok peradaban mempunyai nama-namanya sendiri. 

    Hingga kemudian datanglah agama. Tuhan, memperkenalkan diri kepada manusia melalui utusan-utusan-Nya (nabi dan rasul). 

    Tuhan mengatakan jika apa yang selama ini dilakukan oleh orang-orang yang melakukan penyembahan terhadap benda-benda merupakan perbuatan menyekutukan Tuhan. 

    Perbuatan yang sangat dibenci oleh Tuhan. Bahkan, satu-satunya perbuatan yang tidak mendapatkan ampunan dari-Nya.

    Tuhan terlihat semakin otoriter. Agama yang didasarkan pada dogma-dogma dianggap sebagai penjara bagi manusia. Manusia yang mempunyai akal tidak bisa begitu saja menerima pengakuan-pengakuan yang ajaib yang berada di luar nalar akal pikiran manusia. 

    Maka, manusia mulai memikirkan apa alam itu dan apa manusia itu (ontologi). Kemudian dilakukanlah penyelidikan-penyelidikan terhadap pertanyaan-pertanyaan itu. 

    Sehingga kini pengetahuan manusia tentang alam semakin berkembang. Bahwa ada sebab dan akibat terhadap proses terjadinya sesuatu.  Proses-proses penyelidikan kemudian disepakati (epistemologi) membentuk yang dinamakan ilmu (science). 

    Ilmu dianggap mampu menjelaskan rasa keingintahuan manusia. Ilmu mampu menjelaskan secara detail dan logis yang bisa diterima oleh semua manusia. Tidak sampai di situ, ilmu harus mempunyai manfaat bagi manusia (aksiologi). 

    Namun, kemudian ternyata ilmu dimanfaatkan untuk berbuat kejahatan, penjajahan, dan memperebutkan kekuasaan. Ilmu menjadi tidak bebas nilai dan tidak ada yang mempunyai otorisasi untuk menghentikan itu semua.

    Agama mengecam tindak kejahatan itu, namun agama sendiri dinilai tidak mampu memberikan alasan yang logis yang bisa diterima oleh semua orang. Maka, di sinilah peran filsafat. Menurut Bertrand Russell, filsafat adalah jembatan penghubung antara agama dan ilmu.

    Agama yang tidak dilengkapi dengan ilmu pengetahuan, maka manusia tidak bisa berkembang. Sedangkan kehidupan manusia membutuhkan ilmu pengetahuan untuk bertahan hidup dari fenomena-fenomena alam yang ada di sekitar manusia. 

    Fenomena-fenomena alam hanya bisa dijelaskan oleh ilmu. Dengan ilmu manusia mampu memprediksi dan mengambil nilai guna dari alam.

    Ilmu tanpa agama menjadi berlebihan. Manusia tidak cukup hanya membuat alat pertahanan diri, tapi nafsu manusia menjadikan ilmu untuk menciptakan nuklir.

    Filsafat mengajak manusia untuk menjadi bijak. Sesuai dengan namanya, filsafat menjadikan manusia tidak hanya memikirkan tentang alam, tetapi juga nilai-nilai dibaliknya. Filsafat juga menjadikan agama agar tidak hanya berkutat di antara pahala dan dosa, surga dan neraka. Tetapi jauh daripada itu, yaitu kemanusiaan.

    Filsafat membuat ilmu mempunyai nilai guna bagi manusia secara umum dan bisa mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Filsafat juga menuntut agama agar humanis, tidak berada di awang-awang, yang mistis, yang hanya bisa dicerna bagi sebagian orang. 

    Kemudian yang pada akhirnya, agama hanya menjadi alat untuk menyebarkan kebencian. Hingga kemudian tidak mustahil bahwa filsafat dianggap sebagai agama itu sendiri. Sangat penting posisi filsafat itu.

    Demikianlah kedudukan filsafat ilmu dan agama. Filsafat menjadi jembatan penghubung antara ilmu dan agama supaya manusia itu menjadi bijak. Tidak buta terhadap dogma-dogma agama tetapi juga tidak hanya berkutat terhadap ilmu saja tanpa memperhatikan moral yang kemudian hanya menimbulkan bencana.


    Makalah Filsafat Ilmu Teori Kebenaran Dalam Bingkai Teori Kebenaran Ilmu

    Makalah Filsafat Ilmu Teori Kebenaran Dalam Bingkai Teori Kebenaran Ilmu

    Teori Kebenaran Dalam Bingkai Teori Kebenaran Ilmu

    Akal menjadi indikator pembeda antara manusia dengan hewan dan tumbuhan. Eksistensi ke-manusiaa-an adalah dengan akalnya, setidaknya itu menurut Rene Descartes. 

    Dengan akal, manusia mempunyai rasa ingin tahu terhadap sesuatu. Rasa ingin tahu ini membawa manusia kepada ketidak-puasan terhadap apa yang telah menjadi pengetahuannya.

    Pengalaman baik empirik maupun metafisik membuat manusia menemukan kebenarannya sendiri. Secara individual, hal tersebut bukanlah sebuah masalah. Namun, ketika dihadapkan kepada sebuah kerangka umum, kebenaran itu harus teruji secara ilmiah. 

    Kebenaran ilmiah dihasilkan dari penelitian ilmiah, ia harus lolos uji dari tahapan-tahapan yang harus dilalui (Imam Wahyudi, 2004: 255). Kebenaran ilmu secara metafisis mempunyai tumpuan pada objek ilmu. Dengan sebuah penelitian yang didukung oleh metode dan sarana penelitian akan menghasilkan pengetahuan. 

    Harus ada kemampuan di dalam menteorikan sebuah fakta supaya diketahui kebenaran maupun kesalahan, karena semua objek ilmu itu benar di dalam dirinya sendiri. Maka kebenaran ilmu adalah kebenaran setelah melalui tahapan-tahapan ilmiah.

    Ilmu sebagai kajian epistemologi mempunyai kehidupannya sendiri. Ia mempunyai kerangka berpikir yang logis dan sistematis. Seseorang tidak bisa dengan tiba-tiba menyatakan bahwa pernyataannya merupakan sebuah kebenaran. 

    Pernyataan itu harus melalui verifikasi ilmiah untuk kemudian dianggap sebagai ilmu pengetahuan. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia tidak hanya berpikir, akan tetapi ia harus mampu membuktikan secara ilmiah bahwa ide-idenya bisa dijadikan sebagai ilmu.

    Alat ukur kebenaran membuat kita terhindar dari fanatisme ‘palsu’--fanatisme yang sebetulnya tidak benar-benar diketahui sebabnya. Fenomena politik menggambarkan dengan jelas bahwa masih banyak manusia yang terjebak di dalam fanatisme palsu ini. 

    Jebakan kubuisme yang dibangun oleh ‘playmaker’ politik berhasil menyita perhatian masyarakat. Sehingga, masyarakat tidak lagi mempunyai waktu untuk menimbang benar-salah terhadap apa yang telah mereka terima. Dalih ‘pokoknya’ menjadi kalimat wajib ketika apa yang telah menjadi kebenarannya dipertanyakan.

    KAJIAN PUSTAKA

    1. Koherensi

    Kebenaran koherensi banyak dikembangkan oleh Bradley, Hegel, dan Spinoza. Teori ini erat kaitannya dengan konsistensi. Karena pembutiannya adalah dari pernyataan-pernyataannya sendiri. Ia disebut benar jika sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. 

    Sebuah pengetahuan dianggap benar jika proposisi yang dikemukakan mempunyai keterkaitan dengan ide-ide proposisi sebelumnya yang dianggap benar. Kesimpulannya, sebuah kebenaran dapat diuji melalui kejadian masa lalu, pembuktian logis, maupun matematis.

    Disebut koherensi karena proposisi yang dikemukakan mempunyai hubungan (koheren) dengan proposisi sebelumnya yang terlebih dahulu diketahui yang dianggap benar. Teori koherensi erat kaitannya dengan idelaisme, karena untuk menentukan kebenarannya, ia tidak harus dipengaruhi oleh keadaan real peristiwa-peristiwa.  

    Maka, teori kebenaran koherensi sangat subyektif. Kaum idealis merumuskan bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu (Susanto: 2011). Karena subjektivitas mempunyai andil besar di dalam teori ini, maka pada akhirnya mempunyai banyak kelemahan. 

    Setiap manusia mempunyai tingkat pengetahuan dan pemahaman yang berbeda-beda. Sedangkan kebenaran harus mampu menggapai semua manusia. Maka, akhir-akhir ini teori koherensi tidak populer.

    2. Korespondensi

    Teori kebenaran korespondensi kadang disebut dengan accordance theory of truth, yaitu pernyataan-pernyataan adalah benar ketika berkorespondensi terhadap fakta. Dengan kata lain, ia harus mempunyai bukti empiris. 

    Sebuah proposisi benar jika mengandung fakta yang sesuai dan apa adanya (Bakhtiar: 2012). Senada dengan Jujun bahwa keadaan benar jika ada unsur kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan objek yang dituju (Jujun: 2000). 

    Teori korespondensi bisa dikatakan sebagai teori kebenaran yang paling awal pada sejarah filsafat. Para pelopor dari teori tersebut adalah Plato, Aristoteles, Moore, dan Ramsey. Teori ini acapkali dihubungkan dengan teori-teori empiris pengetahuan. 

    Dikembangkan oleh Bertrand Russel dan dianggap sebagai teori kebenaran tradisional karena sejak awal Aristoteles menyatakan bahwa kebenaran harus sesuai realitas yang diketahuinya. 

    Namun, realitas itu subjektif atau objektif menjadi sebuah perdebatan. Maka kemudian muncul dua pandangan yaitu idealisme epistemologis dan realisme epistemologis. 

    Idealisme epistemologis mempunyai pandangan bahwa setiap tindakan berakhir dalam sebuah ide, yang merupakan subjektif (Bakhtiar: 2012). Sedangkan realisme epistemologis menyatakan bahwa terdapat realitas yang independen, yang terlepas dari pemikiran. Tidak dapat diubah. Pandangan ini kemudian lebih dikenal dengan objektivisme.

    Akhirnya kita dihadapkan pada dua realitas yaitu pernyataan dan kenyataan. Kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu terhadap kenyataan sesuatu itu sendiri. Kebenaran tidak hanya diyakini, akan tetapi harus bisa dibuktikan.

    3. Pragmatisme

    Pragmatisme mempunyai pandangan bahwa kebenaran adalah bergantung kepada nilai guna bagi manusia di dalam kehidupannya. Kegunaan atau ke-bermanfaat-an menjadi indikator kebenaran dari sebuah dalil atau teori yang dikemukakan. Ia harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.

    Pragmatis berasal dari bahasa Yunani pragmai yang artinya adalah yang dikerjakan, tindakan, dilakukan. Maka, kebenaran dalam pandangan pragmatisme  yaitu jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis yang bisa dikerjakan manusia. 

    Kebenaran tidak sebatas koheren dan koresponden, tetapi kebenaran juga harus mempunyai nilai manfaat bagi kehidupan manusia.

    Teori kebenaran pragmatisme berkembang pada akhir abad ke-19 di Amerika Serikat. Tokoh-tokohnya adalah diantaranya yaitu, Charles Sander Pierce (1834-1914) dikenal dengan sebutan tokoh semiotic, William James, dan John Dewey. 

    Pragmatisme menekankan pentingnya kegunaan akal sebagai pemecah masalah (problem solving)  bagi kehidupan manusia. Selama teori itu bermanfaat, maka ia bisa menjadi kebenaran. Kebenaran mutlak atau kebenaran universal menurut Charles Pierce adalah tidak ada. 

    Kebenaran sifatnya berubah atau relatif, menyesuaikan kondisi kehidupan manusia. Kebenaran masa lalu bisa jadi akan direvisi oleh kebenaran selanjutnya.

    PEMBAHASAN

    Perlu kiranya kita untuk mempertajam kajian kali ini dengan mengetengahkan contoh-contoh supaya mudah dipahami. Selain itu, mengetahui latar belakang tentang munculnya teori-teori kebenaran yang sudah kita bahas akan membantu kita sebagai bahan analisa terhadap kejadian masa lalu dan untuk menetahui bagaimana manusia masa lalu merespon terhadap kejadian yang di alaminya.

    Kebenaran ilmu menjadi bingkai yang jelas. Sehingga kita tidak terjebak kepada permainan kata-kata tak bermakna.

    1. Kebenaran Korespondensi

    Penulis meletakkan teori ini di awal diskusi karena teori kebenaran korespondensi merupakan teori awal dari peradaban keilmuan. Yaitu peradaban keilmuan Yunani yang diawali oleh Thales dan kemudian berkembang pesat pada zaman Plato (sekitar 300 tahun sebelum masehi). 

    Saat itu manusia sedang tertarik untuk mendiskusikan tentang alam semesta. Asal-usul alam semesta menjadi objek yang paling banyak didiskusikan pada saat itu. Kajian metafisik menjadi pembahasan yang paling menonjol. Warga Yunani yang percaya akan adanya dewa-dewa tidak bisa melepaskan diri dari keterkaitan tersebut.

    Aristoteles adalah salah satu murid dari Plato. Tetapi ia berbeda dengan gurunya yang idealis, Aristoteles lebih memilih fungsi empiris sebagai pembuktian kebenarannya. Maka, kebenaran adalah yang sesuai dengan kenyataan.

    Contoh:

    a. Semua besi jika dipanaskan akan memuai.

    Pernyataan ini sesuai dengan kenyataan bahwa semua besi ketika dipanaskan akan memuai atau bertambah ukurannya. Di belahan bumi manapun, besi ketika dipanaskan akan memuai. Maka, pernyataan ini mempunyai nilai kebenaran karena sesuai antara pernyataan dengan kenyataan.

    b. Jakarta adalah ibu kota Indonesia.

    Pernyataan ini juga mempunyai nilai kebenaran. Karena sesuai fakta bahwa Jakarta adalah ibukota negara Indonesia yang sah dan diakui baik secara de facto maupun de yure. Dengan demikian, maka pernyataan tersebut benar.

    c. Air mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah.

    Rumus gravitiasi menkonfirmasi pernyataan ini. Dan secara fakta memang demikian. Di manapun, sifat air adalah mencari tempat terendah.

    2. Kebenaran Koherensi

    Secara urutan keilmuan, koherensi berada sebelum teori korespondensi. Karena teori koherensi adalah kaitannya dengan alam ide. Plato sebagai bapak idealisme tentu tidak bisa ditinggalkan begitu saja. 

    Namun secara kajian, teori koherensi berkembang dan populer pada masa Renaissance. Yaitu, masa kebangkitan ilmu pengetahuan Eropa setelah berabad-abad terkungkung oleh supremasi gereja. Maka, untuk mempermudah ingatan penulis meletakkannya setelah korespondensi.

    Sifatnya yang subyektif, maka penalaran menjadi kerangka yang wajib untuk diperhatikan. Kebenaran koherensi harus runtut dan tidak bertentangan secara logis antara pernyataan satu dengan pernyataan yang lainnya.

    Contoh:

    a. Semua ikan bisa berenang

    Gurameh adalah ikan

    Jadi, Gurameh bisa berenang

    Pernyataan-pernyataan di atas bersifat runtut, dan pada kesimpulannya tidak bertentangan dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya.

    b. Semua burung bisa terbang

    Beo adalah burung

    Maka, beo bisa terbang

    c. Semua perempuan itu cantik

    Ani adalah perempuan

    Jadi, Ani itu cantik

    Pada contoh ke tiga ini sejenak akan menimbulkan perdebatan bahwa pada alam realitas cantik itu multitafsir. Ya, koherensi bukanlah korespondensi. Indikator kebenarannya ada pada konsistensi dari proposisi-proposisi yang dibangun antara yang satu dengan yang lainnya.

    3. Pragmatisme

    Teori kebenaran pragmatisme hadir ketika manusia sudah memasuki sejarah panjang peradaban. Sejak era Sokrates sampai Emanuel Kant, manusia berjibaku terhadap kebenaran teoritik. 

    Tidak sepenuhnya salah, akan tetapi manusia adalah makhluk hidup. Mereka harus bergerak dan berbuat. Apalagi, setelah meletusnya revolusi Perancis di mana setiap orang menginginkan kebebasan sesuai kehendaknya. 

    Orang-orang ingin bekerja sesuai kemampuannya. Maka, ilmu pengetahuan harus mampu mengakomodir tuntutan zaman.

    Ilmu pengetahuan tidak lagi berada pada ranah teoritik, tetapi harus menyentuh ranah praktis. Ilmu pengetahuan akan diakui kebenarannya ketika ia mampu memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Segala sesuatu tidak hanya diterjemahkan secara ontologis, tetapi ia harus sampai kepada prakteknya.

    Besi, tidak lagi dibahas mengenai wujud dan bentuknya. Akan tetapi untuk apa besi tersebut? Bagaimana mengolahnya? Besi bisa menjadi apa saja? Ide-ide harus mampu diimplementasikan secara operasional.

    Teori ini menjadi sebuah jawaban terhadap perubahan perilaku manusia. Tuntutan kebutuhan hidup manusia yang semakin banyak dan harga-harga yang semakin mahal harus mampu direspon oleh ilmu pengetahuan.

    Kebenaran tidak cukup pada tahap koherensi dan korespondensi. Kebenaran harus bernilai praktis. 

    Contoh: 

    a. Semua besi jika dipanaskan akan memuai, akan menjadi bernilai benar ketika bisa dimanfaatkan oleh pandai besi, atau oleh industri logam.

    b. Air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, mempunyai kebenaran ketika dimanfaatkan untuk membuat bendungan, atau untuk membuat sistem pengairan terasering.

    c. Api bersifat panas, diakui kebenarannya ketika digunakan untuk memasak air atau menghangatkan tubuh.

    Pragmatisme mempunyai pandangan bahwa kebenaran itu nisbi. Ia relatif—bergantung terhadap keadaan sesuatu. Kebenaran yang dianggap umum pada masa lalu, bisa saja akan dikoreksi di masa yang akan datang.

    Dulu, pluto dianggap sebagai salah satu planet dari sistem tata surya. Namun berjalannya waktu seiring dengan kemajuan teknologi, maka Pluto dianggap hanyalah bintang, bukan planet. 

    Demikian juga teori Charles Darwin yang menyatakan bahwa manusia berasal dari kera. Setelah melalui pengamatan dan penelitian secara ilmiah tidak ditemukan tanda-tanda bahwa nenek moyang manusia adalah kera.

    Berdasarkan anggapan teori pragmatisme, bisa saja suatu hari manusia bisa hidup di planet Mars. Sementara ini anggapan bahwa manusia bisa hidup di Planet Mars hanyalah sampai kepada dugaan. 

    Secara teoritik kebenaran pragmatisme ia baru dianggap kebenaran ketika ada manusia yang benar-benar bisa bertahan hidup di Planet Mars.

    Berkaca kepada contoh kasus di atas, kebenaran Pragmatisme hampir mendekati dengan teori kebenaran korespondensi. 

    Namun, pragmatisme beranggapan bahwa kebenaran tidak hanya sebatas pernyataan yang sesuai kenyataan, akan tetapi ia harus mempunyai nilai guna bagi kehidupan manusia. Memang fakta bahwa bintang-bintang itu tidak bergerak. 

    Namun, akan diakui kebenarannya oleh teori pragmatisme ketika bintang-bintang tersebut digunakan sebagai penunjuk arah bagi nelayan.

    KESIMPULAN

    Dari pembahasan di atas akan terlihat dengan jelas perbedaan-perbedaan dari teori kebenaran koherensi, korespondensi, dan pragmatisme. Dengan demikian implikasi dan konsekuensinya  luas  terutama pada cakupan dan kerja-kerja metodologi penelitian  dan tentu saja filsafat ilmu sebagai induknya.

    Kebenaran teori koherensi diuji dari konsistensi pernyataan-pernyataan itu sendiri. Sedangkan teori korespondensi mengatakan bahwa kebenaran harus sesuai dengan fakta realitas. Teori kebenaran pragmatisme melangkah lebih jauh. 

    Sebuah kebenaran tidak hanya diukur melalui koherensi dan korespondensi, tetapi ia harus mempunyai nilai manfaat. Jika tidak, maka ide-ide tersebut bukanlah merupakan sebuah kebenaran. 

    Seiring berkembangnya zaman, didukung oleh kemajuan teknologi kebenaran juga akan berkembang—setidaknya itu yang dikatakan oleh pragmatisme. Pola hidup yang serba instan menjadikan manusia cenderung pragmatis. 

    Kultur filsafat yang membutuhkan perenungan sedikit demi sedikit akan ditinggalkan. Sebuah ironi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Namun, manusia tidak bisa lari dari kenyataan. Untuk itu, manusia membutuhkan alat penguji kebenaran supaya tidak dipermainkan oleh keadaan realitas.

    Daftar Pustaka

    Bakhtiar, Amsal. 2012. Filsafat Ilmu, Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

    Suriasumantri, S,Jujun. 2000. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka

    Sinar Harapan, cet. ke 13.. 

    Susanto, A. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan

    Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara

    Suyanto, Bagong & Sutinah. 2005. Metode Penulisan Sosial. Jakarta: Kharisma Putra Utama.

    Wahyudi, Imam.2004. Refleksi Tentang kebenaran Ilmu. Jurnal Filsafat.Jilid 38 Nomor 3.


    Source image: pixabay.com
    Biografi Ibnu Sina Sang Ahli Kedokteran Islam

    Biografi Ibnu Sina Sang Ahli Kedokteran Islam

     

    Biografi Ibnu Sina Sang Ahli Kedokteran Islam


    Ibnu Sina merupakan doktor Islam yang paling terkenal. Sumbangannya dalam bidang kedokteran tidak hanya diakui oleh dunia Islam tetapi juga oleh para sarjana Barat. Nama asli Ibnu Sina ialah Abu Ali al-Hussian Ibnu Abdullah. Tetapi di Barat, beliau lebih dikenali sebagai Avicenna.


    Ibnu Sina dilahirkan pada tahun 370 Hijriah bersamaan dengan 980 Masehi. Beliau belajar pertama kali di Bukhara dalam bidang bahasa dan sastra. Selain itu, beliau turut mempelajari ilmu-ilmu lain seperti geometri, logika, matematika, sains, fiqh, dan kedokteran.


    Walaupun Ibnu Sina menguasai pelbagai ilmu pengetahuan termasuk filsafat tetapi beliau lebih menonjol dalam bidang pengobatan. Awal mula dikenal sebagai dokter ketika beliau berhasil menyembuhkan penyakit Putera Nub Ibn Nas al-Samani yang gagal diobati oleh doktor yang lain. Kehebatan dan kepakaran dalam bidang pengobatan tiada bandingannya. Sehingga beliau diberikan gelaran al-Syeikh al-Rais (Kepala Guru).


    Beliau terkenal di seluruh negara Islam. Bukunya Al Qanun fil Tabib telah diterbitkan di Rom pada tahun 1593 sebelum diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Precepts of Medicine. 


    Dalam jangka masa tidak sampai 100 tahun, buku itu telah dicetak ke dalam 15 bahasa. Pada abad ke-17, buku tersebut telah dijadikan sebagai bahan rujukan dasar di universitas- universitas Italia dan Perancis. Bahkan, sampai dengan abad ke-19, bukunya masih dicetak ulang dan digunakan oleh para pelajar kedokteran.


    Ibnu Sina juga telah menghasilkan sebuah buku yang diberi judul Remedies for The Heart yang mengandungi sajak-sajak pengobatan. Dalam buku itu, beliau telah menceritakan dan menguraikan 760 jenis penyakit bersama dengan cara untuk mengobatinya.


    Hasil tulisan Ibnu Sina sebenarnya tidak terbatas kepada ilmu kedokteran saja. Tetapi turut merangkumi bidang dan ilmu lain seperti metafisika, musik, astronomi, filologi (ilmu bahasa), syair, prosa, dan agama.


    Penguasaannya dalam pelbagai bidang ilmu itu telah menjadikannya seorang tokoh sarjana yang serba bisa. Beliau tidak sekadar menguasainya tetapi mampu meraih kejayaan di bidang yang ditekuninya.


    Di samping menjadi ahli dalam bidang pengobatan, Ibnu Sina juga menduduki ranking yang tinggi dalam bidang ilmu logika sehingga digelari guru ketiga. Dalam bidang penulisan, Ibnu Sina telah menghasilkan ratusan karya termasuk kumpulan risalah yang mengandungi hasil sastra kreatif.


    Perkara yang lebih menakjubkan pada Ibnu Sina ialah beliau juga merupakan seorang ahli filsafat yang terkenal. Beliau pernah menulis sebuah buku berjudul al-Najah yang membicarakan persoalan filsafat.


    Pemikiran filsafat Ibnu Sina banyak dipengaruhi oleh aliran filsafat al-Farabi yang telah menghidupkan pemikiran Aristoteles. Oleh sebab itu, pandangan kedokteran Ibnu Sina turut dipengaruhi oleh asas dan teori pengobatan Yunani khususnya Hippocrates.


    Pengobatan Yunani berasaskan teori empat unsur yang dinamakan humours yaitu darah, lendir (phlegm), empedu kuning (yellow bile), dan empedu hitam (black bile).


    Menurut teori ini, kesehatan seseorang mempunyai hubungan dengan campuran keempat unsur tersebut. Keempat unsur tersebut harus berada pada kadar yang seimbang dan apabila keseimbangan ini terganggu, maka seseorang akan mendapat penyakit. 


    Setiap individu dikatakan mempunyai formula keseimbangan yang berbeda-beda. Meskipun teori itu dikatakan kurang tepat, tetapi telah meletakkan satu landasan kokoh kepada dunia pengobatan untuk mengenal pasti dasar penyakit yang menjangkiti manusia. Ibnu Sina telah menapis teori-teori kosmogoni Yunani ini dan mengislamkannya.


    Ibnu Sina percaya bahawa setiap tubuh manusia terdiri dari empat unsur yaitu tanah, air, api, dan angin. Keempat unsur ini memberikan sifat lembap, sejuk, panas, dan kering serta sentiasa bergantung kepada unsur lain yang terdapat dalam alam ini. Ibnu Sina percaya bahwa manusia mempunyai zat pertahanan untuk melawan penyakit. Jadi, selain keseimbangan unsur-unsur yang dinyatakan itu, manusia juga memerlukan ketahanan yang kuat dalam tubuh bagi menjaga kesehatan dan proses penyembuhan.


    Pengaruh pemikiran Yunani bukan hanya dapat dilihat dalam pandangan Ibnu Sina mengenai kesehatan dan pengobatan, tetapi juga bidang falsafah. Ibnu Sina berpendapat bahwa matematika boleh digunakan untuk mengenal Tuhan.


    Pandangan yang sama pernah dikemukakan oleh ahli filsafat Yunani seperti Pythagoras untuk menguraikan mengenai sesuatu kejadian. Bagi Pythagoras, sesuatu barang mempunyai angka-angka dan angka itu berkuasa di alam ini. 


    Berdasarkan pandangan itu, maka Imam al-Ghazali telah menyifatkan paham Ibnu Sina sebagai sesat dan lebih merusak dari pada kepercayaan Yahudi dan Nasrani.


    Sebenarnya, Ibnu Sina tidak pernah menolak kekuasaan Tuhan. Dalam buku An- Najah, Ibnu Sina telah menyatakan bahwa pencipta yang dinamakan sebagai "Wajib al-Wujud" ialah satu. Dia tidak berbentuk dan tidak boleh dibandingkan dengan apapun.


    Menurut Ibnu Sina, segala yang wujud (mumkin al-wujud) berasal dari pada "Wajib al-Wujud" yang tidak ada permulaan. Tetapi tidaklah wajib segala yang wujud itu datang dari pada Wajib al-Wujud, sebab Dia berkehendak bukan mengikut kehendak.


    Walau bagaimanapun, tidak menjadi halangan bagi Wajib al-Wujud untuk melimpahkan atau menerbitkan segala yang wujud sebab kesempurnaan dan ketinggian-Nya.


    Pemikiran filsafat dan konsep ketuhanannya telah ditulis oleh Ibnu Sina dalam bab "Himah Ilahiyyah". Pemikiran Ibnu Sina ini telah mencetuskan kontroversi dan telah disifatkan sebagai satu langkah awal membahas zat Allah. Al-Ghazali telah menulis sebuah buku yang berjudul Tahafut al'Falasifah (kerancuan dalam pemikiran ahli filsafat) untuk membahaskan pemikiran Ibnu Sina dan al-Farabi.


    Di ntara penyanggahan yang diutarakan oleh al-Ghazali ialah penyangkalan terhadap kepercayaan dalam keabadian planet bumi, penyangkalan terhadap penafian Ibnu Sina dan al-Farabi mengenai pembangkitan jasad manusia dengan perasaan kebahagiaan dan kesengsaraan di surga atau neraka.


    Walaupun pandangan yang dikemukakan demikian, tetapi sumbangan Ibnu Sina dalam perkembangan falsafah Islam tidak mungkin dapat dinafikan. Bahkan beliau boleh dianggap sebagai orang yang bertanggungjawab menyusun ilmu filsafat dan sains dalam Islam. Sesungguhnya, Ibnu Sina tidak hanya unggul dalam bidang kedokteran tetapi kehebatan dalam bidang filsafat mengungguli gurunya sendiri yaitu al-Farabi.



    Source image: Liranews.com

    Menu Navigasi Utama

    Formulir Kontak